Antara Harapan dan Khawatir, Dampak Literasi Digital Bagi Milenial

Era 4.0 memaksa setiap individu khususnya kaum milenial untuk ramah literasi digital. Siapa saja yang mencoba menolak bisa jadi ia akan di telan zaman. Literasi

Joko Yugiyanto

Era 4.0 memaksa setiap individu khususnya kaum milenial untuk ramah literasi digital. Siapa saja yang mencoba menolak bisa jadi ia akan di telan zaman.

Literasi digital itu sendiri dapat dikatakan sebagai kecakapan untuk menggunakan perangkat digital. Perangkat tersebut bisa berupa alat komunikasi berbasis teknologi digital ataupun media sosial berbasis digital.

Dalam prosesnya tak hanya tentang bagaimana cara menggunakan semata. Namun terdapat unsur membuat informasi, menemukan, menyebarkan hingga mengevaluasi.

Pada intinya adalah bagaimana cara seseorang memanfaatkan media digital dalam kehidupan sehari-hari dengan bijak, cerdas, cermat dan tepat. Secara sederhana dapat dikatakan bagaimana seseorang mengakses informasi secara sehat dan taat hukum.

Dikatakan sehat bila informasi tersebut layak konsumsi mengingat begitu mudah ditemukan informasi yang kurang bermutu, tidak berbobot hingga hoaks.  Taat hukum dimana kini telah ada UU ITE yang mengatur setiap individu dalam menggunakan teknologi informasi dan elektronik sehingga bila melanggar rentan terhadap hukum pidana.

Saat ini, begitu mudah kita temukan media sebagai media perang. Saling serang, sindir dan menjatuhkan satu sama lain seolah hal biasa.

Bagi mereka yang tidak tahu dan dikatakan ‘polos’ akan terjebak dalam narasi yang dibangun. Dan pada akhirnya akan latah menghakimi sesuatu yang belum pasti kebenarannya.

Menjadi kekhawatiran media digital / sosial digunakan dengan cara yang salah khususnya kaum milenial yang cenderung labil. Media sosial bagi oknum tak bertanggung jawab diubah menjadi industri dimana ia kemudian akan mengeruk keuntungan dengan membangun opini.

Seolah tak peduli dengan hak orang lain dimana seseorang pun kemudian bisa ditelanjangi dengan membagi pula. Contoh paling ‘anyar’ tentu saja berita yang menimpa artis internasional asal ibu kota dimana ia diragukan ke-Indonesia-annya.

Padahal penilaian ini hanya berdasar potongan video selama beberapa menit saja. Bagi mereka yang tahu kiprah artis tersebut tentu menanggapi hal ini dengan biasa saja karena tahu fakta bahwa rasa bangganya tak perlu diragukan kembali.

Namun bagi mereka yang miskin literasi digital tentu secara spontan akan langsung ‘nyinyir’ dan memberikan label negatif. Hal ini terlihat dengan gamblang dimana para publik figur langsung meramaikan lini masa.

Miris dan mengkhawatirkan tentunya dimana kapasitas sebagai publik figur tidak diiringi kemampuan yang baik dalam literasi digital. Bukankah harusnya sebelum itu ada proses tabayyun atau mencari kebenaran.

Literasi digital sejatinya lebih pada hal-hal yang bersifat teknis tentang bagaimana mengelola sebuah informasi yang di dapat dengan melibatkan faktor kognitif dan sosial emosional.

Yang terlihat kemudian hanyalah sisi emosi negatif dimana bisa jadi akan diamini para follower-nya. Lain hal bila kemudian sebelum mengumbar berbagai pernyataan yang menyudutkan tersebut tabayyun dengan yang bersangkutan.

Selain mencegah fitnah, hal ini juga akan mencerdaskan warganet atau yang biasa disapa netizen. Memberikan edukasi positif terhadap isu-isu yang sedang berkembang agar semua paham betul pentingnya literasi digital.

Teknologi digital juga terbukti mampu mengobok-obok privasi seseorang. Seolah tak ada jarak dan semua bisa berkirim pesan baik itu secara santun ataupun vulgar.

Literasi digital yang kurang tepat juga akan memiliki beberapa dampak yang akan berakibat buruk. Semisal acapkali kejahatan dan asusila bermula dari media sosial dimana seseorang memiliki kebebasan mengakses informasi.

Pun demikian dengan tayangan yang kurang layak semisal tindakan sarkasme, vandalisme hingga pornografi. Peran keluarga dan khususnya orang tua tentu sangat dibutuhkan. Khususnya bagi milenial yang sedang mencari jati diri.

Bukan pengawasan tapi tepatnya pendampingan dan arahan yang mereka butuhkan. Bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang muncul bisa di jawab dengan tepat bukan hanya mengacu benar atau salah.

Media sosial atau digital bagai mata uang yang memiliki dua sisi. Selain bisa mencipta rasa khawatir media ini juga mampu memberi harapan.

Dimana berbagai informasi positif dan sehat begitu mudah disebarkan. Virus-virus kebaikan bisa di dengungkan dalam hitungan detik dari dan ke seluruh negeri.

Memberi kesempatan mereka yang tinggal di daerah terdepan, terluar dan tertinggal mengakses informasi yang sama dengan mereka yang tinggal di ibu kota.

Seolah jarak dan waktu bukan lagi alasan untuk tidak melek informasi. Siapapun kini berhak untuk menikmati legitnya literasi digital.

Harapan positif ini harus terus di tebar sepanjang masa. Hal ini pula yang telah dan dilakukan Klub Blogger dan Buku (KUBBU) Jakarta. Di usianya yang ke 4 tahun mereka tetap konsisten untuk senantiasa “Membaca, Menulis dan Menginspirasi”.

Penasaran dengan apa yang mereka kerjakan. Gabung saja dengan klik link ini.

Joko Yugiyanto

Sehari-hari bekerja sebagai penulis lepas dan bila kamu ingin order sesuatu bisa kontak saya di 087838889019

Tags

Related Post

Tinggalkan komentar