Sering kita mendengar istilah wait and see dalam kehidupan sehari-hari. Tapi jangan salah memaknai wait and see dalam dunia kerja karena bisa jadi blunder dan yang rugi kita sendiri.
Wait and see ini bisa muncul dalam benak pencari kerja dimana ia diberi kemudahan dalam proses pencarian dan rekrutmen kerja. Bisa jadi setiap kali melamar kerja selalu lolos dengan mudah. Akibatnya tentu muncul rasa tinggi hati dan menggampangkan nanti pasti akan lolos lagi.
Berkaca dari salah satu kawan yang memiliki kapasitas intelegensi dia atas rata-rata. Dimanapun ia melamar pasti akan dengan mudah melalui tahapan psikotes hingga interview. Hingga pada satu waktu proses pemanggilan waktu mulai bekerja.
Pasca mendapat kabar diterima yang ada justru rasa galau. Rasa dimana perusahaan yang di depan mata tidak cukup baik dan berharap ke depan akan dapat perusahaan yang lebih baik lagi.
Satu sikap yang terus berulang, dari hari menjadi minggu, dari minggu menjadi bulan dan tahun hingga pada akhirnya tak kunjung bekerja. Alternatif paling mudah selanjutnya tentu menjadi freelancer.
Mengambil satu pekerjaan tanpa perjanjian hitam diatas putih. Pekerjaan yang selesai dalam hitungan minggu atau bulan dan selanjutnya proses berulang.
Cukup naif tentunya, seseorang yang memiliki kapasitas diatas rata-rata tidak bisa berkembang secara optimal. Semua itu hanya karena wait and see dan tidak merasa cukup dengan apa yang ada di depan mata.
Bahaya laten wait and see tak hanya terjadi pada pencari kerja tapi bisa juga terjadi pada user atau pemberi kerja. Hal ini terjadi biasanya karena user tidak merasa cukup dengan kandidat yang ada.
Cenderung hanya ingin mempekerjakan mereka yang pengalaman dan siap. Tapi jangan salah mereka yang pengalaman memiliki kecenderungan untuk berbuat curang.
Terlebih pada perusahaan pembiayaan atau perbankan. Dimana karyawan yang berpengalaman memiliki kecenderungan melakukan fraud atau kecurangan hingga 70%. Satu angka yang fantastis tentunya.
Sementara itu bila menggunakan mereka yang non pengalaman tentu angka fraud lebih bisa ditekan. Hanya saja perlu ekstra effort untuk melatih dan mentraining karyawan baru.
Perilaku wait and see terlihat dengan tidak segera menyegerakan karyawan bergabung meski ia telah mengatakan oke. Berharap di hari yang akan datang bertemu dengan kandidat yang lebih baik.
Kalau saja penantian hanya beberapa hari mungkin tak masalah. Tapi apa jadinya bila keterusan tentu akan terjadi kekosongan posisi. Akibat selanjutnya tentu terjadi rangkap jabatan selama posisi tersebut belum terisi.
Perlu dicatat sejatinya posisi pemberi kerja dan pencari kerja itu setara. Dimana keduanya masih bisa berpaling ke yang lain. Bila tidak ingin waktu terbuang sia-sia maka segerakan.
Bila keputusan itu ada tentunya jumlah pengangguran akan berkurang. Jangan sampai citra susahnya cari karyawan di negeri ini nyata. Jangan ada keluhan kenapa saya sulit mendapatkan pekerjaan meski telah bergelar sarjana.
Oleh karena itu, sesuai petuah orang bijak dimana hal terbaik adalah apa yang ada di depan mata. Bila ada hal yang kurang ada baiknya diperbaiki dan terus diperbaiki.
Hal diatas adalah bahaya laten wait and see yang saya tangkap berdasar realitas yang ada. Bila kamu ada pendapat bolehlah tulis di kolom komentar.