Saya percaya orang yang paling bahagia itu adalah mereka yang bisa bertahan dengan apa yang mereka yakini. Paling mudah mungkin saya temukan pada rekan-rekan yang kini jadi seniman. Seringkali mereka tampil diluar batas kewajaran dan mereka acuh dengan kata orang.
Mereka melakukan hal itu tentu bukan tanpa sadar. Justru mereka bisa dikatakan orang yang paling sadar dan paling tahu tentang apa yang ada di dalam dirinya dan apa yang membuat mereka bahagia.
Ibarat kata, ketika seseorang ingin membuat orang lain senang pasti itu suatu keniscayaan karena apa yang ada di sekitar kita sifatnya subjektif. Bagi sebagian orang itu bagus bagi orang lain belum tentu demikian.
Sebelum menulis lebih lanjut saya ingin tegaskan apa yang saya tuliskan di sini adalah apa yang saya refleksikan. Mewakili diri saya pribadi dan bukan orang lain. Tiap orang bisa jadi memiliki perspektif berbeda.
Tapi itulah yang justru membuat Indonesia makin kaya. Ingat Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu juga.
Jadi Seniman itu Cita-Cita Bukan ya?
Kembali tentang tema yang saya sampaikan diatas. Selama 4 tahun kuliah di jurusan psikologi saya cukup dekat dengan kawan-kawan yang memiliki jiwa seni. Kala itu ada hasrta atau cita-cita jadi seniman. Mungkin mereka belum sukses seperti Nasirun tapi jiwa dan semangat itu ada dan saya temukan.
Sosok Nasirun bagi saya menjadi satu yang inspiratif dan luar biasa. Terutama dalam berproses dimana ia belum bisa istirahat bila memang belum selesai.
Akibat prosesnya itulah kemudian yang membuat sesuatu bisa jadi beda.
Kala itu ingat betul, di kampus akan ada pementasan teater dan kami selaku anggota tim kreatif harus mengupayakan pendanaan. Selain mengajukan proposal ke perusahaan dan dinas terkait kami pun menyambangi beberapa seniman Jogja yang cukup terkenal.
Jujur sebelum bertemu Nasirun saya tidak tahu siapa beliau. Kami kala itu hanya diberi list nama dan alamat serta surat permohonan kerja sama.
Saya yang sebelumnya belum pernah mengantar surat permohonan ke perorangan pun takjub. Ternyata di Jogja ada rumah yang begitu apik dan pastinya beda dengan yang lain.
Waktu itu kalau tak salah kami, saya dan teman saya sampai di rumah beliau sekitar pukul 11.00 WIB. Berharap yang bersangkutan ada di rumah.
Benar saja saat kami tiba memang yang kami cari ada di rumah dan betapa kagetnya jam 11 siang masih ada yang tidur. Istrinya yang ramah menyambut kami dan mempersilahkan duduk di ruang tamu.
Mungkin, karena saya baru kali bertemu dengan pelaku seni yang sesungguhnya menjadi terkaget-kaget. Tampil apa adanya dan duduk kemudian menanyakan maksud kedatangan kami.
Dengan polos surat pengantar dan propsoal yang kami bawa pun saya berikan. Sepintas dia membaca surat itu kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. Yes, misi sukses besar.
Tak sampai akhir dibaca dan saya inget betul yang ia sampaikan, “sudah sini duduk, kita ngobrol dulu”. Membayangakan betapa bahagia dan sederhananya proses bila seperti ini semua.
Selama beberapa waktu kami bercengkrama dan saya pun mendapat pencerahan. Bagaimana menjadi sosok manusia yang utuh. Bekerja dan berkarya dengan hati tanpa mengenal waktu.
Sejak saat itu saya pun makin intens berkenalan dengan para pelaku seni entah itu pemain teater, pelukis ataupun kriya. Selalu ada hal menarik untuk di bahas dan tak pernah habis.
Baca juga: Kata Orang Tentang Saya
Mungkin kala itu saya sengaja masuk teater meski sadar betul tidak ada darah seni. Tapi dari situ saya bisa menemukan ada satu hal yang bisa bikin saya bahagia.
Dengan menulis membuat saya bisa makin banyak tahu. Dengan menulis memberi kesempatan saya jalan-jalan. Dengan memberi kesempatan saya mendapat penghasilan.
Benar bila menulis puisi, sajak dan sejenisnya adalah satu bentuk seni dan saya tidak pernah menggaarap seni itu. Yang saya tulis hanya sebatas apa yang saya tahu, saya rasakan dan saya lihat. Itu saja.
Tapi jangan salah, rasa bahagia itu tetap saya dapat. Menulis adalah menjadi jalan hidupku hingga mungkin tak sengaja nama anakku pun ku kasih nama V Abhiraj Jurnalistika.
Berharap suatu saat nanti ia bisa menjadi seorang laki-laki yang berani menyuarakan kebenaran dalam bentuk tulisan. Syukur-syukur kelak ia jadi seniman meski bukan menggunakan media canvas.