Bukan hanya tugas pemerintah untuk entaskan kemiskinan sebagai akibat dari adanya kusta. Kita sebagai warga masyarakat pun bisa ikut serta. Caranya tentu dengan hilangkan stigma negatif akan kusta.
Saatnya kita berdiri sama tinggi dan tidak ada diskriminasi. Terutama pada mereka yang sudah menjadi Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK). Di mana orang ini telah selesai menjalani pengobatan dan mereka tak ubahnya dengan kita.
Kalau bukan kita, siapa yang akan peduli dengan mereka. Khususnya orang-orang yang ada di lingkaran terdekat. Saatnya kita bantu untuk mereka bangkit terutama dari sisi rasa percaya diri dan ekonomi bahwa mereka juga bisa.
Indonesia bebas kusta itu hanya bisa terjadi bila ada kolaborasi aktif antar pemangku kepentingan dengan masyarakat luas. Menjadikan penderita kusta sebagai pihak yang butuh dukungan penuh.
Kondisi di Lapangan Tidak Seperti yang Diduga
Faktanya apa yang terjadi di lapangan tidak seperti kita duga. Banyak hal perlu dibenahi bukan hanya sekadar rasa peduli.
Hingga saat ini, Indonesia masih menjadi negara nomor 3 dengan penderita kusta baru paling banyak di dunia. Di bawah India dan Brasil sebagai negara dengan jumlah kasus kusta paling banyak di dunia.
Regulasi atau kebijakan menjadi kunci atas semua itu. Di mulai dari undang-undang hingga turunan di wilayah paling kecil.
Setelah regulasi tentu ada implementasi yang harus dijalankan di akar rumput. Hal ini karena meski sudah ada kebijakan tapi pelaksanaan belum sepenuhnya.
Masih ada sebagian yang belum siap menerima OPYMK sebagai mana mestinya. Dan selanjutnya, mereka yang sejatinya miliki kemampuan atau kompetensi tidak bisa bersaing secara sehat dengan yang lain.
Pembatasan itu bukan hanya dari sisi kesempatan untuk mendapat pekerjaan tapi juga di mulai dari akses mendapat pendidikan dan pelatihan yang cukup dan layak. Bagaimana mungkin OYPMK bisa miliki kemampuan yang cukup bila kesempatan untuk belajar dan berkembang saja di batasi.
Menjawab OYPMK Bangkit “Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan, Benarkah?”
Segala pertanyaan diatas terjawab dengan adanya Talkshow Ruang Publik KBR yang dilaksanakan pada tanggal 28 September 2022. Di mana Tenaga Ahli Kedeputian V, Kantor Staf Presiden (KSP) Sunarman Sukamto, Amd mengakui itu semua.
Menurutnya, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya guna hentikan stigma negatif akan kusta. Tujuannya untuk menghilangkan diskriminasi sehingga para OYPMK ini tidak mendapat kesenjangan dalam hal sosial dan ekonomi.
Berbagai program bidang kesehatan pun digalakkan. Terutama untuk mengedukasi semua masyarakat bahwa kusta itu tidak menular dan bisa disembuhkan. Tidak boleh berhenti dan harus terus dilakukan hingga tidak ada lagi stigma negatif di tengah-tengah masyarakat.
Bahkan pemerintah hingga saat ini menyediakan fasilitas pengobatan gratis bagi penderita kusta. Bagi mereka yang miliki gejala ini bisa datang ke puskesmas untuk mendapat pengobatan.
Regulasi terkait ketenagakerjaan pun dihadirkan, yang mana pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja membuat kebijakan bahwa perusahaan swasta setidaknya harus mempekerjakan 2% karyawan disabilitas. Sementara itu untuk perusahaan swasta di angka 1.5%.
Yang cukup menarik ternyata pemerintah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten / kota untuk miliki Unit Layanan Disabilitas (ULD). Unit ini miliki tugas untuk memberikan informasi lowongan kerja bagi para disabilitas. Selain itu juga untuk mempromosikan para kandidat disablitias kepada para pemberi kerja.
Berbagai penyuluhan dan bimbingan juga giat dilakukan. Terutama untuk para disabilitas dan OYPMK agar mereka miliki rasa percaya diri untuk bisa turut aktif memberi kontribusi positif kepada masyarakat.
Selanjutnya ada Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian PPN / Bappenas Dwi Rahayuningsih yang memberikan informasi bahwa hingga saat ini tingkat kemiskinan para penyandang disabilitas dan OYPMK di angka 15,26%. Sementara itu untuk non disabilitas di angka 10,14%.
Artinya faktor kecacatan ini sangat berpengaruh terhadap tingkat ekonomi seseorang. Hal ini bisa jadi selain faktor fisik tapi juga pengaruh diskriminasi yang ada.
Mereka yang termasuk disabilitas dan OYPMK relatif lebih sulit untuk diterima dan mendapat pekerjaan. Padahal secara kemampuan bisa jadi lebih baik dari mereka yang dinyatakan sehat secara fisik.