Sosok perempuan hebat dengan kecerdasan diatas rata-rata. Ia senantiasa menjadi yang terbaik di kelas hingga di satu angkatan. Namanya selalu harum karena terpilih mewakili entitas SMP 1 Goodean, kabupaten Sleman hingga provinsi Yogyakarta.
Pernah satu ketika ku tanya apa yang dilakukan tiap hari. Dengan polos ia menjawab kira-kira begini, “usai sekolah ikut les, pulang magrib dan istirahat sebentar kemudian belajar lagi, pagi sebelum subuh bangun dan belajar lagi hingga berangkat sekolah.”
Lah saya mana bisa kayak gitu, sekolah dari pagi hingga siang aja penat. Apalagi harus belajar pulang sekolah, jelang tidur dan bangun tidur.
Tak ada hasil yang akan mengingkari proses. Buktinya memang ia senantisa menjadi terbaik. Dari kabar yang saya dengar ia juga menjadi salah satu yang terbaik di SMA hingga perguruan tinggi.
Lah saya siapa, mungkin istilah kata seperti kembang tebu kabur kanginan.
Kembali ke masa 3 bulan saya mengenalnya. Selama beberapa minggu itu mungkin menjadi masa keindahan dimana bisa bertemu dan berdiskusi dengan orang hebat. Seolah tak mau kalah, meski secara kapasitas saya kalah jauh tiap kali ada ujian kita akan saling menunjukan nilai tes kita.
Saya selalu kalah dan tak mengapa buktinya selalu nyengir. Tetap berusaha melakukan yang terbaik meski dengan kepayahan dan keterbatasan.
Keterbatasan fisik atau tepatnya memiliki tampang pas-pasan itu terlihat. Dengan postur yang pendek, kecil, hitam dan rambut keriting mungkin itu imej yang muncul tiap kali melihat saya kala itu.
Rasa malu dan minder senantiasa muncul saat berkumpul dengan kawan-kawan. Tak ada memang yang mendeskridetkan tapi rasa itu menjadi ganjalan untuk eksis dengan yang lain.
Kesombongan berbuah pahit teramat sangat. Kala itu terdapat perdebatan dengan kawan lain yang membahas perihal mana yang lebih baik antara laki-laki dengan perempuan.
Entah kenapa ia ikut nimbrung dan saya tak mau ngalah bahwa laki-laki itu lebih baik daripada perempuan. Satu hal yang sangat sepele dan tak pantas diperdebatkan tapi hingga kini setelah hampir seperempat abad tidak terjadi titik temu.
Kadang meski kita berdekatan tapi terasa jauh. Mungkin ego ku yang berlebihan hingga tak ada kata maaf dan silahturahmi selesai.
Yang ada kini hanya penyesalan kenapa harus meributkan sesuatu yang sama sekali tak penting. Bagai nasi yang telah menjadi bubur. Semua tak bisa diperbaiki dan cerita berjalan dengan lakon masing-masing.
Meski demikan ada hal-hal indah yang senantiasa ku kenang. Semisal mendengarkan saat ia bernyani lagu-lagu milik Stinky. Iya betul kala itu sedang booming band yang di gawangi Andre Taulani itu.
Pernah juga kala pesantren kilat (kalau tak salah) berada di lorong lantai 2 dan ia tiba-tiba datang. Tak mau bertemu saya kemudian melompat ke atas genteng. Entah setan mana yang menggerakan, tiap kali ia datang seolah ada sinyal yang mengharuskan ku pergi menjauh.
Cerita ini belum selesai aslinya, hanya saja saya ingin cerita the real karma di part 3.