Mentari belum juga menampakkan keperkasaannya. Hari masih begitu gelap tapi bocah itu menggeliat pertanda dalam waktu dekat akan terjaga.
Ellen demikian biasa ia disapa. Tidur pulas ya bisa jadi obat lelah bagi Jek.
Tak butuh waktu lama, tangisnya pecah sebagai pertanda ia telah bangun dari peraduannya. Sosok laki-laki paruh baya dengan sigap pun menggendong.
“Ada apa anakku, kesayanganku. Ayah disini” demikian dengan lirih Jek ucapkan untuk buah hatinya.
Bocah satu tahunan itupun terdiam. Ia tak menangis lagi dan tangannya menunjuk-nunjuk seolah ada hal yang hendak disampaikan.
Meski belum tahu betul, Jek menghampiri tempat dimaksud. Begitu pintu dibuka, dinginnya pagi terasa menusuk kulit.
Rambut jagung bocah itupun melambai-lambai. Giginya yang belum genap menyeringai penuh girang. Dengan sekuat tenaga kakinya terus menjejak seolah ingin menyentuh tanah.
Jek tahu betul apa yang harus dilakukan. Tak ada pilihan lain selain menuruti apa yang di inginkannya.
Selepasnya dengan tertatih-tatih ia pun berlari tak beraturan entah kemana. Setiap menemukan kubangan air sisa hujan semalam ia berhenti.
Ia begitu menikmati saat kaki kecilnya tanpa alas kaki berada dalam genangan air. Tak peduli dengan celana panjangnya yang basah terkena air.
Dari kejauhan Jek memperhatikan buah hatinya. Senyum dan tawa anak itu mampu membuatnya untuk terus kerja keras.
Meski kurang tidur karena semalam baru mematikan alat kerja selepas pukul 00.00 wib dan kini harus bangun lagi. Pendeknya waktu istirahat tak mengurangi semangat untuk terus bermain.
Terjadi sedikit penyesalan, kenapa anaknya tumbuh begitu cepat. Masih kurang rasanya ia ingin menimang-nimang. Tak cukup rasanya menghabiskan waktu bersamanya.
Suasana yang dingin makin terasa saat rinai hujan kembali turun. Tanpa kompromi bocah itu disambar masuk ke rumah.
Seolah tak terima, Ellen meraung-raung. Mungkin dalam batinnya berkata, “kenapa ayah merebut kebahagiaanku. Apakah salah aku menikmati waktu bersama semburat langit.”
Dengan telaten, Jek mencoba memberikan aneka mainan agar anaknya diam. Mulai dari mobil-mobilan, bola, alat tulis dan hampir semua disodorkan.
Tak bergeming, Ellen kecil menangis dan menunjuk pintu seolah ingin mengatakan, “Ayah, bahagiaku ada di sana. Biarkan sesaat saya bersamanya.”
Jek tahu betul kalau membiarkan anaknya bermain diluar akan sakit. Tak kehilangan akal dia pun menggendong dan berdiri dibalik jendela.
“Nak jangan main hujan-hujanan ya, nanti kita main lagi kalau sudah terang,” mungkin itu adalah mantra terbaik yang bisa diberikan untuk menenangkannya.
Puji syukur, setelah itu ada petir menyambar-nyambar. Tangis bocah yang belum genap dua tahun itu terdiam. Merasa kalah power ia menurunkan intonasi dan menerima kenyataan kalau saat ini harus berada didalam rumah.
Mungkin, inilah jawaban kenapa ketika anak menangis akan terdiam saat digendong. Hati mereka begitu dekat dan mungkin hanya berjarak tebalnya daging yang tak lebih dari 11 centimeter.
Jek masih terus membuat Ellen tenang dengan bernyanyi. Meski ia sadar betul tidak bisa olah suara hingga ada yang mengatakan cacat nada.
Hal itu bukan alasan untuk menyampaikan pesan cinta seorang ayah untuk orang paling disayang.
Cukup lama mereka terdiam. Hanya saling menatap dan kemudian tersenyum entah apa artinya.
Bagi Jek dan Ellen mungkin mereka akan berkata, “peduli setan dengan itu semua.” Hari ini dan esok, sampai kapanpun aku ingin bahagia bersamamu.
Iya, ini antara ayah dan anak saja. Tak lebih…