Berbicara tentang suka duka bekerja dari hobi seolah membawa ingatan pada puluhan tahun lalu. Tepatnya di 2002 hingga pertengahan 2004 saat masih bekerja sebagai operator sebuah industri otomotif.
Bekerja dengan ritme yang padat dalam waktu panjang membuat seolah hidup itu hanya sebatas bekerja dan bekerja. Berangkat saat matahari belum terbit dan pulang begitu malam.
Begitu seterusnya dan tentu yang ada hanya rasa bosan. Mungkin saat berbicara tentang pendapatan boleh bangga. Dalam satu bulan uang dibawa pulang tak kurang dari 2 hingga 3 kali UMR Jakarta waktu itu.
Ada diantara mereka yang sering kali menasehati untuk segera meninggalkan pabrik karena memang pekerjaan saat itu menguras tenaga dan konsentrasi. Hilang kesadaran sedikit saja bisa jadi akan langsung masuk rumah sakit.
Mencoba menimang hal menyenangkan yang sekiranya kelak bisa menjadi ladang kehidupan. Memilih beberapa opsi yang sekiranya nanti bisa diseriusin.
Dan diantaranya tentu mencoba menjadi pelawak. Konon atau kata orang saya itu cukup lucu, meski kalau ditanya saya tidak langsung bisa mengamini.
Beruntung kontrak kerja saya putus di bulan Juni atau Juli saat itu. Tidak diangkat menjadi karyawan tetap tapi diberi penawaran untuk pindah bagian untuk menjadi karyawan baru dari nol.
Baca juga: Rasa Penasaran itu Mahal, Terlebih Kalau Berhubungan dengan Hobi
Mencari Peluang Ke Kampus
Usai dinyatakan tidak diangkat saya pun pulang ke Jogja da mencoba peruntungan dengan menjadi mahasiswa. Ingat betul saat itu saya ingin masuk sekolah seni dengan jurusan teater.
Harapannya, kelak usai lulus bisa menjadi pelawak. Namun begitu konsultasi dengan beberapa saudara ada salah satu pertanyaan yang harus dijawab. “Sarjana teater itu nanti akan kerja di mana?”
Ingin lanjut kuliah linear dengan jurusan saat di STM di Teknik Elektro bukan pilihan. Tak ingin kerja di pabrik dan jauh dari angka membuat saya harus memilih satu jurusan yang relatif lebih bisa dijangkau.
Pucuk dicinta ulam tiba, saat melintas di Jalan Wates Kilometer 10 saya melihat spanduk ukuran cukup besar yang bertuliskan Teater Senthir. Seolah berjodoh saya masuk kampus ini ingin belajar teater sembari memilih jurusan yang tidak dominan dengan angka.
Baca juga: Tidur adalah Hobi Saya
Hobi Tercipta Melalui Proses
Suka duka bekerja dari hobi tidak tercipta begitu saja tapi ada proses yang secara empiris bisa menjadi pembuktian. Berada di kampus dan telah memiliki pengalaman diluar bangku sekolah seolah membuat rasa percaya diri cukup tinggi. Kuliah itu bukan hanya tentang mendapat nilai di kelas tapi ada banyak hal lain yang harus didapat.
Selain ada unit kegiatan mahasiswa teater yang menjadi alasan saya menemukan lembaga pers mahasiswa yang tak kalah menarik. Di mana saya bisa menemukan orang-orang yang hobi membaca dan menulis.
Ada banyak orang dengan segala pemikiran bisa ditemukan di tempat ini. Selama itu pula sejak awal kuliah terbiasa dengan kegiatan menulis.
Meski zaman dulu tidak seintens saat ini untuk menulis tapi tradisi menulis dan membaca data menjadi sebuah pemandangan yang begitu akrab. Kegiatan itu terus terbawa karena seusai kuliah pun masih lekat dengan kegiatan menulis.
Baca juga: Menggabungkan Passion dan Hobi
Hibernasi Tak Kurang dari 3 Tahun
Meski saat ini cukup produktif dalam menulis karena memang hobi telah berubah menjadi pekerjaan. Tapi ada satu masa saya cukup jauh dari tulisan.
Antara bulan April 2010 hingga November 2014 saya lebih memilih fokus sebagai bagian dari part of human capital. Selama rentang tersebut saya bekerja di 4 perusahaan dengan latar belakang berbeda.
Menjelang akhir 2014 itulah kemudian saya benar-benar ingin fokus mengerjakan apa yang saya suka. Mengerjakan sesuatu yang memang itu adalah hobi dan bisa digarap dengan serius.
Selama beberapa saat saya mengajak beberapa kawan untuk diskusi. Menemukan apa yang bisa dikerjakan dari rumah dan itu menyenangkan.
Kanal Jogja sebagai Pembuktian
Selain hobi menulis, hobi saya itu jalan-jalan, makan-makan dan tentunya ketemu orang baru. Dari 4 hal tersebut nampaknya membangun sebuah platform tentang Jogja adalah jawabannya.
Bagaimana saya kemudian bisa tetap menulis tentang apa yang menjadi kegelisahan, apa yang dirasakan, dilihat dan didengar. Jogja memiliki segudang tempat menarik yang tidak mungkin akan habis dieksplor sepanjang tahun.
Dari kanaljogja.com kemudian berubah ke kanaljogja.id dan kini bermunculan blog-blog lainnya. Semua itu sebagai media untuk mencurahkan apa yang ada. Memiliki kolam khusus untuk berkeluh kesah, berbicara dunia teknologi, human capital, asuransi, parenting dan lain-lain.
Kini setidaknya ada belasan blog dikelola dan bisa jadi akan bertambah meski tidak yakin. Hal ini karena dari semua itu masih bisa dioptimalkan atau digarap untuk lebih baik.
Suka Duka Bekerja dari Hobi
Selanjutnya ada pertanyaan menggelitik, “Apakah saya pernah bosan dengan menulis atau apa saja suka duka bekerja dari hobi?”
Ketika ditanya apakah saya pernah bosan. Tentu sesekali saya pernah bosan dan itu akan hilang dalam satu dua hari mengingat ada kewajiban yang harus diselesaikan. Faktor lain yang membuat ketiadaan rasa bosan tentu karena ada banyaknya tema bisa digarap.
Guna menjawab mereka yang bertanya suka duka bekerja dari hobi mungkin ini akan sedikit memberi jawaban. Ada banyak alasan kenapa saya begitu mencintai pekerjaan ini.
Hal pertama tentu saja dengan menulis saya ada. Untuk bisa menulis yang baik tentu dibutuhkan bahan atau data dan itu memaksa untuk terus belajar dan membaca. Tanpa hal itu tentu tulisan yang ada akan biasa saja.
Kedua, menulis itu menghasilkan meski angkanya belum bisa distandarkan. Sebagai contoh untuk saat ini satu artikel yang saya buat bisa saya lepas dengan harga ratusan ribu hingga jutaan. Semua itu tergantung klien dan semakin besar budget tentu kue didapat semakin baik.
Ketiga, bekerja dari hobi itu bisa dikerjakan kapan saja dan dimana saja. Saya tidak butuh tempat atau waktu khusus selain atas permintaan klien. Malam menjadi waktu terbaik untuk bekerja dimana yang lain sudah terlelap.
Keempat, lebih banyak jalan-jalan dari pada bekerja. Mereka yang sesama profesi dengan saya tentu sapakat kalau waktu yang ada lebih banyak digunakan untuk jalan-jalan. Entah itu berkunjung ke tempat makan, objek wisata, gedung dilangsungkan acara hingga bisa jadi berada di lokasi tak terduga.
Kelima, menulis itu berbagi. Semua tentu sepakat bahwa ketika kita menulis sejatinya itu sedang berbagi informasi. Tidak saja menghibur tapi sebisa mungkin harus bisa memberikan edukasi atau pencerahan tentang sesuatu.
Keenam, bekerja dari hobi itu menantang. Hal ini karena kita tidak memiliki gaji pokok layaknya karyawan. Namun harus bekerja untuk bisa survive hingga beberapa waktu yang akan datang. Salah dalam manajemen keuangan bisa jadi akan menjadi tantangan tak terhindarkan.
Sebenarnya masih ada banyak alasan lain yang membuat saya suka menulis dan menjadikan hobi ini sebagai sumber penghidupan. Namun kalau terlalu banyak nanti takutnya tidak sempat menulis duka bekerja dari hobi.
Hal pertama yang menjadi kegelisahan atau suka duka bekerja dari hobi tentu saja harus mencari atau menyiapkan hobi lain. Tak mungkin bukan hidup hanya untuk bekerja sekalipun itu adalah hobi dan sesuatu yang menyenangkan.
Salah satu hobi baru yang saya pilih usai memantapkan bekerja dari hobi adalah memancing. Meski secara aktual kegiatan memancing ini bisa dihitung dengan jari tetap saya katakan sebagai hobi. Dan bila kamu ada di Jogja dan hobi memancing bolehlah sekali-kali kita mancing bareng.
Duka kedua ketika bekerja dari hobi itu bisa jadi adanya asumsi negatif dari masyarakat sekitar. Kini setiap hari pekerjaan saya adalah antar anak dan antar istri. Seringkali saya antar anak ke TK dalam kondisi bangun tidur belum mandi dan hanya sebatas pakai celana kolor.
Hal lain yang akan terlihat ketika tidak ada kegiatan di luar sepanjang hari saya hanya akan bekerja dari rumah. Bekerja tanpa seragam dan lebih banyak di rumah, membuat sebagian orang penasaran dan bertanya, saiki kerjo nang endi Jok? Dan itu menjadi salah satu bagian dari suka duka bekerja dari hobi tentunya.