Tak terasa, bila tidak ada aral melintang maka pada bulan Desember 2020 yang akan datang maka akan digelar Pemilukada serentak di tanah air. Menjadi penting adanya toleransi berpolitik sejak dini bila tidak ingin ada perpecahan.
Bukan hal tabu tentunya bila selama ini masih saja ada peristiwa tak perlu dengan adanya beda pilihan. Toleransi berpolitik hendaknya dimiliki oleh setiap orang khususnya mereka yang telah memiliki hak pilih.
Bisa jadi dalam satu rumah pun akan terjadi perbedaan. Tak jarang pula kita temukan mereka yang satu KK harus berpisah hanya karena beda pilihan politik.
Baca juga: Jadi Seniman, Cita-Cita Tak Tersalurkan
Politik Praktis di Depan Mata
Politik praktis memang cenderung mengarah ke ego. Mau itu benar atau salah, mau itu baik atau tidak mana peduli. Tak ubahnya pakai kaca mata kuda, bila itu junjungan maka pasti benar dan harus dibela hingga titik darah penghabisan.
Kebetulan saat ini saya tinggal di Tangerang dan tinggal menunggu waktu riuhnya jalanan. Dimana masing-masing pendukung akan turun ke jalan dan mengajak yang lain untuk turut serta memilih.
Jujur saya memang suka bila diajak berdiskusi terkait pandangan politik satu partai. Bisa berjam-jam atau mungkin akan terus berseri hingga pertemuan yang akan datang. Namun uniknya dengan mereka saya tidak pernah sampai ribut menggunakan otot.
Yang ada kemudian adalah bagaimana kita bisa berkarya dengan apa yang menjadi pilihan. Mungkin itu semua karena selama ini saya berada dalam satu lingkungan yang pas. Dimana perbedaan itu nampak tapi biasa saja. Tak ada yang salah dengan perbedaan.
Diantara sekian banyak toleransi yang ada di sekitar bisa jadi yang paling menarik tentu saja berkaitan dengan politik. Satu isu yang bisa di goreng tiap saat.
Hal ini tentu sangat kontradiktif begitu kita melihat media mainstream ataupun media sosial. Di mana dengan mudah akan ditemukan orang ribut, baku hantam sampai ada pertumpahan darah hanya karena beda pandangan politik.
Lihatlah mereka yang menjadi anggota dewan, mereka yang menikmati ‘kue demokrasi’ saja bisa guyup rukun meski sering adu mulut. Lha kok yang diakar rumput justru harus menjadi korban.
Mungkin ini semua karena kurangnya pemahaman satu sama lain bahwa beda politik itu tak jauh beda dengan beda agama, suku ataupun budaya. Sama saja dan tidak perlu diributkan.
Tak ada yang perlu dipaksakan dalam toleransi berpolitik. Tak ada yang perlu dikatakan bahwa milik saya adalah yang terbaik. Karena ini semua kembali ke nilai yang tumbuh dalam hati dan pikiran masing-masing individu.
Baca Juga: Organisasi yang Bikin Saya Nganu Banget
Toleransi di Tempat Kerja itu Nyata
Hingga saat ini saya telah bekerja di 8 perusahaan. Dan di tempat saya bekerja selama itu pula saya memiliki beberapa pengalaman yang luar biasa terkait dengan toleransi.
Begitu mudah saya temukan orang-orang yang luar biasa dimana satu sama lain bisa menghormati dan menghargai apa yang telah dilakukan rekan kerja mereka.
Contoh paling mudah tentu saja saya temukan saat akan meeting dan pimpinan tertinggi tahu ada satu peserta tengah beribadah maka ia akan menunggu. Tidak memaksakan untuk menyegerakan atau meminta menunda tapi benar-benar di tunggu.
Sosok pimpinan yang senantiasa tegas dan sangat disiplin dalam hal apapun tapi bila itu sudah terkait dengan yang maha kuasa maka ia akan melunak. Mungkinkah ini yang namanya deskresi dalam arti sebenarnya dimana memang aturan tidak saja hitam diatas putih tapi masih ada hal lain yang harus diperhatikan.
Beruntung pula saya berada dalam lingkungan kerja majemuk. Dalam hal apapun baik itu suku maupun agama. Perbedaan itu justru membuat apa yang ada semakin kaya.
Hidup bukan lagi menjadi satu hal yang monoton. Layaknya kami berada di warung kopi. Ada diantara mereka yang suka kopi hitam, kopi latte, kopi susu atau pun bisa jadi ada yang tidak suka kopi tapi masih bisa berkumpul bersama dalam satu tempat.
Di dalam ruang dan waktu tersebut kami pun bisa berbicara banyak hal. Bahkan bisa jadi ada satu bahasan yang mungkin tidak kami temukan jawaban secara objektif karena tiap orang memiliki pemahaman yang berbeda.
Semua itu ada sudah pasti karena satu kata ‘toleransi’. Dimana kami satu sama lain saling menghormati keputusan maupun pandangan orang lain. Tidak ada paksaan orang lain harus mengikuti apa yang kita yakini dan sebaliknya.
Layaknya perdebatan telur atau ayam dulu. Semua kembali ke keyakinan masing-masing dan disinilah dibutuhkan toleransi. Yang kami tahu baik itu telur atau ayam bisa dimasak dan enak dinikmati bersama-sama.