Yakin Mau Kerja di Pabrik, Ini Dia Ceritaku sebagai Karyawan Pabrik

Belasan tahun bekerja minimal saya pernah kerja di pabrik dan setidaknya ada 2 pabrik berbeda. Satu berlabel Astra Komponen dan satunya Adidas Indonesia. Dari dua

Joko Yugiyanto

Belasan tahun bekerja minimal saya pernah kerja di pabrik dan setidaknya ada 2 pabrik berbeda. Satu berlabel Astra Komponen dan satunya Adidas Indonesia.

Dari dua pengalaman tersebut saya hendak cerita apa yang saya rasa. Mungkin bisa menjadi gambaran bagi kamu yang akan memasuki industri dengan kelas internasional.

Saya katakan kelas internasional karena kedua produk atau output harus bisa bersaing di dunia internasional. Bila tidak otomatis barang akan di-rijeck dan tidak akan keluar.

Pengalaman Kerja di Astra Komponen

Pertama saya kerja sebelum lulus STM di 2002. Kala itu ingat betul, malu-maluin kalau alumni STM Pembangunan Yogyakarta tidak bisa mendapat bekerja sebelum wisuda.

Dan benar saja, sebelum saatnya melepas baju abu-abu telah dinyatakan sebagai karyawan PT Inti Ganda Perdana Tbk. Satu-satunya pabrik gardan ditanah air.

Salah satu saingan terdekat adalah negara Thailand karena memang di Indonesia tidak ada duanya. Semua produk gardan yang ada di dalam negeri kalau tidak dari IGP bisa dipastikan dari Negeri Gajah Putih.

Selama dua tahun saya kerja di pabrik dan bekerja di sana merasakan ritme kerja yang luar biasa. Tiada hari tanpa lembur mungkin itu kalimat yang pas.

Tak hanya dihari biasa harus menambah jam kerja. Sabtu Minggu pun hampir bisa dipastikan akan masuk.

Bekerja dengan standar tinggi, dengan kecepatan proses yang luar biasa karena sebagai operator semua produk dihasilkan dalam hitungan detik.

Bisa dibayangkan kalau ada satu produk dihasilkan per 19 detik. Artinya dalam satu menit saat kerja di pabrik setidaknya 3 produk akan keluar.

Dalam satu hari ada 8 jam kerja dan bisa dihitung sendiri berapa produk akan diselesaikan. Tak ada superman kala itu, yang ada hanya supertim karena satu produk akan dihasilkan rata-rata oleh belasan operator.

Ingat betul untuk hanya buang air atau minum saja harus perhatikan waktu. Untung saja per 2 jam kerja ada break 10 menit.

Cukup 2 tahun saya kerja disana, berhubung tidak masuk nominasi untuk menjadi karyawan tetap maka saya dilepas. Beruntung kala itu banyak rekan menasehati untuk masuk sekolah kembali.

Mengingat bentuk tubuh yang terbilang mungil cukup dipertanyakan akan kuat hingga kapan bila harus bertahan. Mendapat masukan dari mereka saya pun memantapkan untuk kuliah.

Dengan background STM jurusan listrik industri ada yang menyarankan untuk ambil jurusan teknik. Katanya sayang kalau saya koada basic di jurusan listrik harus banting stir atau mulai dari nol.

Tapi tidak, saya tak ingin kembali terpenjara dalam sistem yang monoton. Saya ingin yang lebih berwarna dan beda dengan yang lain. Dan pastinya saya ingin kuliah yang tidak harus berpikir keras.

Entah dapat bisikan dari mana tiba-tiba ambil jurusan psikologi. Satu kata yang sebelumnya sama sekali tak pernah terlintas. Satu hal yang baru dan menurutku itu keren.

Benar saja tanpa bekal yang cukup saya mantapkan untuk kuliah ambil jurusan psikologi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Satu kampus yang dekat di rumah tapi tak pernah terlintas.

Terjerumus di Psikologi

Selama hampir 4 tahun saya kuliah mungkin itu adalah puncak dari kegilaan. Disana saya menang banyak.

Kuliah tak perlu mikir dan mengalir apa adanya. Ikut kegiatan dan organisasi cukup banyak.

Tercatat setidaknya saya ikut organisasi pers mahasiswa, teater, mapala, radio dan masih banyak lagi. Disana saya juga bisa nyambi ngajar untuk beberapa bimbingan belajar dan adik tingkat di laboratorium Faal.

Yang lebih bikin gurih tentunya selama tiga tahun dapat beasiswa. Bahkan sudah selesai kuliah pun beasiswa masih bisa cair. Ingat betul bagian kemahasiswaan bilang, “ini untuk modal nganggur ya.”

Selepas kuliah saya pun mengadu peruntungan. Mulai dari menjadi reporter untuk Tribun Kompas Gramedia hingga menjadi HRD untuk BFI di Indonesia Timur.

Seolah kangen Jogja yang tak terbendung, saya pun kembali ke kota asal. Singkat cerita saya bekerja di pabrik kembali.

Baca juga: 8 Jenis Pengangguran yang Sering Ditemui, No 3 Paling Berbahaya

Kerja di Tim Rekrutmen

Kali ini bukan lagi kerja di pabrik dan menjadi operator tapi bergabung dengan tim HRD. Selama hampir 2 tahun disana saya mengalami fase yang sama seperti di awal kerja.

Meski bukan operator tapi kerja di pabrik itu bagaikan siklus yang bisa ditebak dan prediksi. Bisa dibilang gitu-gitu saja, ternyata meski bekerja di plant atau management apa yang dilakukan sama saja.

Bosan kembali muncul dan harus berpikir apakah selamanya akan seperti ini. Mencoba kembali ke yang hakiki, kerja itu harus bahagia bukan hanya karena ada angka tapi harus ada hati.

Selanjutnya petualangan baru dimulai. Ingin bekerja yang lebih fleksibel dalam artian lebih berwarna.

Lepas dari ritus-ritus harian yang menyebalkan saat kerja di pabrik dan saatnya berubah. Kini bekerja itu bagaikan proses belajar berkesinambungan untuk memberi manfaat bagi orang lain, khususnya mereka adalah karyawan di area kerja saya.

Cerita sedikit lebih lengkap ada disini.

Joko Yugiyanto

Sehari-hari bekerja sebagai penulis lepas dan bila kamu ingin order sesuatu bisa kontak saya di 087838889019

Related Post

Tinggalkan komentar