Sarjana tanpa kompetensi, sebuah ancaman nyata bagi generasi milenial yang cenderung kuliah itu hanya sebatas nilai IPK. Tak pernah terpikir untuk membekali diri dengan kemampuan lain yang lebih bisa menyiapkan diri memasuki dunia kerja.
Berbicara tentang generasi micin mungkin bukan zamannya. Isu yang telah mencuat sejak beberapa tahun lalu kembali coba di gagas.
Bukan terlait kebiasaan yang anti mainstream seperti upload foto selfie yang sebenarnya telah lumrah. Bukan juga tentang apa saja yang mereka lakukan dan diluar nalar.
Disini saya lebih ingin mewakili kegelisahan para recruiter dimana seringkali meraka yang melamar sebuah formasi minim kemampuan. Sarjana tanpa kompetensi mungkin itu istilah yang tidak berlebihan untik menggambarkan kondisi para pencari kerja atau job seeker saat ini.
Seolah telah mencapai kata sepakat, kids jaman now cenderung menunjukan sikap bahwa mereka adalah generasi enggan proses. Hanya ingin hasil gurih tanpa adanya kerja keras.
Mungkin benar generasi milenial atau generasi Y dimulai tahun 1981 hingga 1994. Kami yang terlahir diawal ’80an sejatinya ada dalam golongan generasi micin.
Namun faktanya mereka yang terlahir sebelum tahun 1990 mampu menunjukan sikap yang berbeda. Kondisi terbalik akan begitu mudah ditemukan pada akhir generasi Y.
Catatan ini semakin menguat. Dalam satu bulan berdasar diskusi dengan para pelaku rekrutmen setidaknya kami memproses tak kurang dari 100 sarjana.
Uniknya tak lebih dari 20 persen bisa dinyatakan siap. Ada beberapa hal yang membuat mereka gagal dalam proses rekrutmen. Akhirnya ambang batas paling bawah yang diambil dan selanjutnya kita harus menyiapkan mereka agar siap masuk dunia kerja.
Satu indikator yang paling jelas adalah kegagalan dalam psikotes. Selanjutnya mereka yang telah dinyatakan berada diatas ambang minimal mengikuti proses interview.
Dan disinilah paling banyak peserta berguguran. Mereka yang memiliki IPK diatas 3.5 atau memiliki intelegensi diatas rata-rata tidak akan terselamatkan bila tidak memiliki nilai lebih.
Perlu dicatat dalam satu tahun setidaknya jumlah sarjana akan meningkat dengan signifikan. Hampir tiap kampus menelorkan ribuan sarjana.
Pemerintah sendiri mengatakan bahwa pengangguran itu terbagi dua. Mulai dari yang terbuka atau jelas mengaku tidak memiliki pekerjaan dan penggangguran tertutup yang bercirikan memiliki pekerjaan tapi tidak jelas.
Bila mereka berkompetisi hanya bermodal 1 lembar ijasah sarjana sudah pasti akan langsung tumbang. Bukankah sering kali bila perusahaan membuka formasi menggunakan latar belakang pendidikan minimal.
Artinya tanpa dicek pun besar kemungkinan mereka yang ikut seleksi adalah satu tingkatan. Kita sebagai HRD pun bisa tutup mata terkait latar belakang kandidat.
Yang kita gali kemudian tentu saja nilai lebih yang miliki kandidat. Kecenderungan banyak perusahaan memilih mereka yang memiliki nilai plus diluar akademik.
Nilai-nilai tersebut antara lain pengalaman berorganisasi atau mengikuti sebuah kepanitiaan. Ada juga yang melihat prestasi diluar akademik khususnya bagi mereka yan berbakat.
Seolah menjadi pengingat, kini generasi zaman now tidak cukup bertarung dikerasnya dunia kerja hanya bermodal sarjana. Harus memiliki nilai lebih sehingga akan dilirik perusahaan.
Bila memang tidak memiliki nilai lebih dan hanya berkutat dengan 3K mulai dari Kampus, kantin dan kos maka ada baiknya pilih opsi lain. Pilihan lain tersebut antara lain menjadi pelaku usaha.
Tapi perlu dicatat pula, bila ingin menjadi enterprenuer dibutuhkan pula kemampuan dalam managemen organisasi. Bisa pula seseorang fokus pada bidangnya tapi ia harus merekrut orang lain yang memang ahlinya untuk mengeksekusi ide yang tumbuh.
Ingat semua itu biaya dan bila para mahasiswa membekali diri dengan kemampuan berorganisasi niscaya kelak bila ingin berkompetisi di kerasnya kehidupan akan lebih mudah terselamatkan.
Pertanyaan selanjutnya, masihkah kamu ingin termasuk dalam golongon sarjana tanpa kompetensi atau senantiasa meng-upgrade diri…