Alasan Belajar Berbayar Lebih di Minati

Seringkali heran kenapa saat ilmu dibagikan gratis justru tak ada peminatnya. Lain hal bila ilmu atau belajar berbayar justru banyak peminatnya. Mungkin inilah salah satu

Joko Yugiyanto

Seringkali heran kenapa saat ilmu dibagikan gratis justru tak ada peminatnya. Lain hal bila ilmu atau belajar berbayar justru banyak peminatnya. Mungkin inilah salah satu keunikan warga +62 dimana saat mereka mendapat sesuatu yang gratis itu ogah-ogahan.

Mencoba melakukan riset kecil-kecilan dengan melibatkan orang sekitar. Tak banyak, hanya mereka yang tahu betul kegiatan saya selama jam kantor dan di luar kantor. Mereka juga hampir bisa dipastikan sumber-sumber pendapatan saya.

Tak besar angkanya, tapi alhamdulilah mengalir cukup baik. Bukan dari satu sumber tapi bisa jadi dari belasan sumber dan bila di akumulasikan cukup untuk membeli cilok dan mengenyangkan.

Mungkin inilah wajah kita dimana mereka lebih suka akan hasil bukan proses. Seringkali saya bilang, “bikin satu ladang dan bila menghasilkan duplikasi dan duplikasi”.

Taruhlah bila satu ladang bisa menghasilkan 100K dan bila saya punya setidaknya 15 ladang mungkin bisa di tebak berapa yang akan di dapat. Tak mudah memang, tapi itu untuk yang pertama.

Selanjutnya dengan adanya proses belajar ladang-ladang tentu siap lebih cepat, lebih matang dan lebih terkonsep.

Ada juga mereka yang baru akan memulai mengajak diskusi. Oke kita diskusi tapi bila berbicara tentang praktisi tentu saya sudah melakukan dan kamu baru akan memulai.

Boleh punya idealisme tapi selama itu tidak bisa diterima saya sarankan hanya di gunakan dalam ruang diskusi tak lebih. Budaya diskusi produktif saya katakan menjadi bagian dari kehidupan sejak zaman kuliah.

Dimana satu tema bisa di diskusikan berjam-jam, bahkan hingga subuh menjelang pun bisa jadi belum selesai. Tapi selama itu tidak bisa di eksekusi maka simpanlah sebagai kenangan.

Ketika saya mengatakan, “bukan sok menggurui” sama halnya ingin mengatakan saya akan mengajari kamu. Bukan, bukan seperti itu maksud saya tapi lebih bagaimana transformasi ilmu bisa lebih efektif.

Sadar atau tidak sadar, dunia digital membuka peluang lebih banyak dalam mengeruk rupiah. Tak hanya instagram, facebook, twitter, youtube, blog, linkedin dan kini tik tok pun bisa digunakan sarana untuk menjadi sumber penghasilan.

Pertanyaan selanjutnya berapa banyak diantara kita yang siap mengambil ceruk itu. Atau hanya akan menjadi penonton. Melihat mereka yang menikmati legitnya kuenya digital.

Mungkin juga yang membuat belajar berbayar lebih diminati karena kelak akan diberikan sertifikat. Padahal ilmu atau wawasan tak ada kaitan dengan sertifikat. Selembar kertas tersebut hanya sebagai bukti telah mengikuti pelatihan dimaksud.

Ada juga mereka yang memiliki ekspektasi dengan belajar berbayar maka akan ada jaminan bila ilmu bisa di gunakan dan diterapkan. Padahal tidak juga, siapa saja mungkin bisa pegang pisau tapi kalau tidak bisa menggunakan dengan baik juga tidak akan optimal.

Ada mungkin yang menambahkan, monggo

 

Joko Yugiyanto

Sehari-hari bekerja sebagai penulis lepas dan bila kamu ingin order sesuatu bisa kontak saya di 087838889019

Tags

Related Post

Tinggalkan komentar