Benarkah Kampus Tak Butuh Perusahaan?

Tak pernah terpikir, seolah-olah kampus tak butuh perusahaan atau industri sebagai ujung dari proses pendidikan mereka. Mungkin itu perasaan sempit saya saja atau bisa jadi

Joko Yugiyanto

Tak pernah terpikir, seolah-olah kampus tak butuh perusahaan atau industri sebagai ujung dari proses pendidikan mereka. Mungkin itu perasaan sempit saya saja atau bisa jadi ada oknum-oknum yang kurang suport.

topi toga

Mengapa hal ini saya utarakan, tahun ini adalah tahun ke 9 saya memasuki dunia kerja bagian rekruitmen pada departemen human capital. Tulisan ini sengaja saya tulis sebagai katarsis atas 2x pengalaman masuk kampus dan mendapat respon unik.

Dari sekian banyak kampus ternyata patut di duga mereka yang memiliki akreditasi B dan C kurang fokus dalam menggarap para alumi. Lain hal kampus yang memiliki akreditasi A mayoritas mereka memiliki link untuk mendistribusikan para alumninya.

Memperkenalkan perusahaan ke masyarakat luas khususnya dunia pendidikan adalah salah satu tugas yang harus diemban. Bentuk konkritnya tentu saja membuka jaringan seluas-luasnya ke kampus.

Dimana mereka selaku produsen tenaga kerja (bila memang alumninya tidak berminat buka usaha sendiri) tentu membutuhkan dunia kerja yang siap menyerap. Apa guna mencipta ribuan sarjana bila kemudian tidak di distribusikan.

Apakah kampus akan lepas tangan terhadap para alumninya. Dalam hemat saya tentu hal itu tidak ada karena akreditasi kampus atau perguruan tinggi salah satunya ditentukan oleh berapa banyak jumlah lulusan terserap dunia usaha.

Tentu menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan bila ribuan sarjana tersebut setelah lulus jadi penggangguran karena tidak dipertemukan dengan dunia usaha. Bukan pemandangan yang aneh lagi di ibukota dengan mudah ditemukan sarjana yang kesulitan memasuki dunia kerja.

Sedikit analisa dari apa yang saya lihat dan temukan sehari-hari. Bisa jadi selain kurang siapnya pihak kampus untuk mendistribusikan para alumni juga dikarenakan kompetensi mereka yang tidak sesuai.

Ada beberapa kurikulum yang harusnya di update untuk menjawab kebutuhan pasar. Namun yang ada para mahasiswa masih di cekoki dengan ilmu dan wawasan yang tertinggal jauh.

Selain dua hal diatas yang saya temukan adalah minat mahasiswa yang telah lulus dan jadi job seeker. Mereka memiliki ekspektasi tinggi tanpa kompetensi yang mendukung.

Perlu diketahui bahwa pada dasarnya perusahaan akan memberi angka besar bila memang kandidat memiliki kompetensi yang cukup. Bila yang disuguhkan hanya yang biasa mau bilang apa.

Bahkan seringkali saya sebagai human capital bagian rekruitmen menemukan sarjana dengan kompetensi layaknya anak SMA. Di perparah dari hasil psikotes dasar mereka memiliki skor dibawah standar kelulusan.

Beruntung bagi kamu yang kebetulan menempuh pendidikan di tempat yang menepis kampus tak butuh perusahaan. Yang artinya kampus kamu sangat terbuka dengan masuknya penawaran dari perusahaan industri untuk kerja sama.

Menjadi pertanyaan kemudian, selama dikampus 4 tahun mereka berbuat apa saja. Mungkinkah hanya menjadi mahasiswa biasa dengan istilah 3K atau kampus, kos atau kantin. Selanjutnya patut dijawab dengan jujur, selama kuliah kamu ngapain aja bila kini kesulitan mendapat pekerjaan?

Joko Yugiyanto

Sehari-hari bekerja sebagai penulis lepas dan bila kamu ingin order sesuatu bisa kontak saya di 087838889019

Related Post

Tinggalkan komentar