Sesuai dengan diskripsi yang saya tulis untuk blog ini. Dimana saya ingin menulis tanpa tedeng aling-aling dan kali ini saya ingin mengulas tentang demokrasi ekonomi.
Mungkin tak hanya saya dan masih banyak orang di luar sana yang gelisah. Ada apa dengan bangsa ini, kenapa bisa seperti ini. Satu kondisi yang kian jauh dari apa yang dulu pernah dicita-citakan.
Masalah bertubi-tubi dan tak kunjung usai. Kita bisa saja merasakan gurihnya demokrasi dalam berpolitik tapi tidak demikian halnya dalam demokrasi ekonomi.
Pun demikian bisa jadi demokrasi berpolitik itu ada masanya. Seolah siklus 5 tahunan, bila mana ada pemilihan umum maka kehadiran kita akan sangat dinantikan.
Setelah itu janji tinggal janji. Mereka yang sebelum dipilih berkoar-koar akan memberikan yang terbaik untuk rakyat seolah lupa.
Satu demi satu yang disampaikan sesaat sebelum dipilih justru jadi bomerang. Berbalik 180 derajat dan apa yang kita rasakan saat ini adalah kebalikan dari janji manis itu.
Senantiasa Berpikir Positif itu harus
Mungkin saya bukanlah bagian dari orang-orang yang bisa berpikir cerdas. Melihat sebuah kesempatan untuk kemudian diganyang semaksimal mungkin.
Tapi satu hal yang pasti dengan semua peristiwa itu tetap bisa berpikir positif, mawas waras dan semua dikembalikan kepada Tuhan. Tak ingin menyalahkan karena itu pastinya tak ada ujung pangkalnya.
Ingat betul kala pandemi masuk tanah air dan saya harus kehilangan pekerjaan untuk sementara. Saya katakan sementara karena waktu itu adalah di rumahkan. Artinya bila ekonomi membaik maka saya akan bisa berkantor kembali.
Tak terasa 7 bulan sudah saya bukan lagi sebagai karyawan yang miliki ritus kerja dari pagi hingga sore. Berdasar data yang ada ternyata tak hanya satu dua tapi pastinya ada jutaan orang yang senasib.
Beruntung bagi mereka yang miliki ketrampilan dan kemudian bisa menggunakan skill dimiliki untuk bertahan hidup. Lain cerita bagi mereka yang hanya sebatas / murni sebagai karyawan.
Bisa jadi untuk bertahan hidup harus menggadaikan atau menjual aset yang dimiliki. Atau bila tidak bisa jadi akan menahan perut semampunya.
Selama itu pula saya di rumahkan, bekerja dari rumah dengan hobi yang ada. Kebetulan bagi saya pribadi menulis adalah satu cara paling mudah untuk mendapat penghasilan.
Tak terbayang mereka-mereka yang tidak memiliki ketrampilan harus bagaimana. Kehadiran negara dengan berbagai bantuan dan apapun namanya itu ada.
Hanya saja berapa banyak di dapat dan siapa saja yang mendapat saya juga tidak tahu. Konon mereka yang terdampak menjadi prioritas dan saya salah satunya.
Tapi asyudahlah diri ini tak berani berharap dengan itu semua.
Belajar dari Sejarah itu harus
Negara ini pun harusnya belajar dari sejarah. Dimana dari setiap masalah itu pasti akan muncul satu solusi mengingat rakyat tidak mau tertindas untuk lebih lama.
Perlawanan, entah bagaimana caranya bisa saja muncul. Bagai bisul pastinya bila didiamkan, tahu-tahu akan meletus.
Belum lama ini, sebelum diberlakukan PPKM Darurat atau apapun namanya sejumlah aliansi yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa menyuarakan aspirasinya. Cukup satu atau dua cuitan dan tak perlu waktu lama akan booming kemudian.
Satu ditahan maka akan muncul yang lain. Satu hal yang sifatnya keniscayaan karena semau telah merasakan apa yang terjadi saat ini.
Kalangan pebisnis pun teriak, dimana mereka yang sebelumnya sangat diuntungkan dengan berbagai kebijakan populis kini pun harus menelan ludah. Ternyata tak semudah itu untuk bertahan di negeri +62.
Belajar dari berbagai negara yang cukup sukses dalam menanggulangi pandemi dan kemudian memulihkan ekonomi itu adalah keharusan. Tapi yang ada justru patut diduga banyak penjabat yang menyalahgunakan kekuasaan.
Entah berapa banyak uang rakyat yang dijadikan bancakan. Tak mungkin kejahatan paling sadis dimuka bumi ini hanya dilakukan satu dua orang.
Seperti dalam sejarah yang pernah tertulis. Pastinya ada aliran yang akan membasahi masing-masing pihak. Seolah menjadi wabah dan kemudian menjangkiti para pihak.
Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah
Ingat betul apa kata Bung Karno dimana beliau pernah mengucapkan Jas Merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bangsa ini pun harus demikian adanya.
Dimana kala kali pertama negara ini dibentuk dengan UUD 45 didalamnya termaktub Pasal 33 Ayat 1 yang menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Sangat jelas dalam pasal tersebut dikatakan bahwa perekonomian bangsa ini harus disusun sebagai usaha bersama dengan dasar kekeluargaan.
Namun faktanya saat ini sangat susah bagi kita untuk menemukan satu lembaga yang benar-benar disusun dengan mendasarkan pada pasal 33 ayat 1.
Yang ada dan justru terlihat adalah siapa yang kuat dialah yang menang. Tak jarang 1 orang bisa miliki kendali penuh atas semua usaha yang ada.
Saya pribadi pun kini sangat sulit menemukan diskusi tentang hal ini. Yang ada justru bagaimana kapitalis kian merajalela.
Biang Kerok Redupnya Demokrasi Ekonomi
Ada banyak alasan ternyata yang menyebabkan ekonomi kian terpuruk dan jauh dari apa yang dicita-citakan. Sesuatu yang dengan jelas dan gamblang akan ditemukan dalam pasal 33 Ayat 1 UUD 45 bisa jadi saat ini akan sangat sulit ditemukan.
Tragisnya bukan hanya demokrasi ekonomi semata tapi juga demokrasi secara keseluruhan. Demokrasi seolah hanya menjadi bahan untuk jualan dan dalam praktiknya lebih pada orientasi kepentingan individu dan golongan.
Dalam hemat saya setidaknya ada beberapa alasan kenapa demokrasi ekonomi tidak begitu menggigit. Namun yang jelas terlihat di depan mata ada 3 alasan:
1. Pudarnya Prinsip Ekonomi Kolektif
Pada zaman dulu kita dikenal sebagai satu bangsa yang kuat akan budaya gotong royong. Tapi kini budaya itu akan begitu sulit ditemukan.
Khususnya bagi masyarakat perkotaan bisa jadi warisan tak benda dari nenek moyang kita ini benar-benar tidak bisa dirasakan. Yang ada kemudian adalah budaya kapitalistik dimana semua harus ada uang.
Kalau saja kita bisa kembali ke budaya yang identik Indonesia banget ini bisa jadi demokrasi ekonomi akan benar-benar kita rasakan. Satu kegiatan dimana ada berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing.
2. Koperasi Berubah Peran
Anak zaman now bisa jadi tidak pernah merasakan koperasi dalam arti sebenarnya. Terlebih saat ini citra koperasi berubah dengan adanya Koperasi Simpan Pinjam yang identik tempat pinjam duit.
Parahnya kini ada beberapa koperasi yang harus berurusan dengan pihak berwajib karena benar-benar tidak menjalankan prinsip koperasi. Ditambah dengan adanya media yang sering kali menyoroti satu informasi yang cenderung menggunakan konsep the bad news is the good news.
3. Kurikulum Pendidikan
Masalah lain yang nampak dan dirasakan tentu saja kurikulum pendidikan yang belum kuat untuk mengangkat akan peran penting koperasi. Seolah informasi ini hanya menjadi pelengkap saja.
Padahal bila kita berkaca dengan sejarah dan fakta, demokrasi ekonomi dalam hal ini koperasi menjadi satu pilar penyelamat. Dimana satu sistem yang akan menyelamatkan seluruh anggota yang ada di dalamnya.
Tak ada lagi kodefikasi atau pengkotak-kotakan dimana ada pemilik dan pekerja. Yang ada kemudian adalah mereka pekerja sekaligus pemilik.
Selain 3 hal diatas pastinya masih ada masalah yang lain yang menyumbat terciptanya demokrasi di tanah air. Namun demikian pastinya kita akan bisa bangkit bila bersatu padu.
Hal ini karena sejarah telah membuktikan bahwa dalam hati kecil kita jiwa dan semangat itu ada. Hanya saja sistem yang kurang mendukung dan membuat kita akhirnya wait and see.
Pertanyaan selanjutnya tentu saja bagaimana cara kita kembali. Mengulang kejayaan masa lalu sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa.
Telah cukup banyak kajian dan penelitian bahwa demokrasi ekonomi dengan koperasi sebagai bentuk nyata adalah solusi terbaik. Hanya saja komitmen semua pihak dan terutama para pemangku kebijakan yang harus hadir.
Menjalankan prinsip-prinsip ekonomi sesuai dengan UUD 45 harus benar-benar dijalankan. Belajar dari beberapa negara yang telah sukses mengubah BUMN mereka dengan kerangka gotong royong.
Jangan sampai krisis terjadi dan kemudian pemilik modal meninggalkan aset. Dan selanjutnya rakyat Indonesia bahu membahu bertahan dengan sistem ekonomi kerakyatan.