Pandemi membawa dampak yang luar biasa. Terutama bagi saya dimana sebelumnya adalah seorang karyawan yang stabil dalam hal pendapatan. Namun dalam sekejap tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan dan beruntung masih ada aplikasi keuangan yang masih setia mendampingi.
Aplikasi yang memudahkan bagi siapa saja yang ingin menggunakan. Tidak perlu repot ini dan itu karena semua sudah digenggaman.
Tidak ingin tumbang dan menyerah, berbagai upaya pun dilakukan. Paling realistis tentu seting ulang pengeluaran yang ada hingga semua kembali stabil seperti semula.
Beralih profesi untuk kemudian bisa beradaptasi dengan kondisi dan lingkungan yang ada. Bukan hanya saya tapi semua yang masih ingin bertahan.
Dalam skala maro akan ditemukan banyak pihak kemudian berinvestasi besar-besaran di dunia digital. Bukan hanya korporasi atau instansi saja yang berbenah dan menggelontorkan dan besar-besaran untuk membangun sistem berbasis digital.
Mereka, orang perorangan dan tak terkecuali saya pun secara sadar harus melakukan hal serupa. Namun bedanya lebih pada effort atau upaya untuk lebih digital savvy dan tentunya salah satu langkah yang bisa diambil adalah mengoptimalkan aplikasi keuangan yang ada.
Jujur saja, saya menjadi salah seorang dari jutaan karyawan yang harus kehilangan pekerjaan sebagai akibat adanya Covid-19. Per 1 April 2020 saya harus rela dirumahkan tanpa kepastian kapan akan dipanggil kembali.
Bukan april mob tapi dalam sekejap saya menjadi jobless dan mau tidak mau harus memutar otak. Bagaimana anak istri tetap bisa makan, tagihan kontrakan dan cicilan juga harus lancar terbayar.
Untuk bekerja di luar rumah juga menjadi satu hal yang mustahil. Pembatasan secara besar-besaran dilakukan. Setiap kali hanya berada di dalam rumah dan sesekali membuka tirai jendela untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.
TV dan smartphone seolah menjadi pelengkap, korban meninggal terus berjatuhan dan semua orang harus menerapkan protokol kesehatan. Terlebih ada beberapa kawan di luar sana yang meninggal tiba-tiba sebagai akibat virus mematikan dari Wuhan tersebut.
Memulai Bekerja dari Rumah
Beruntung, jauh sebelum adanya Covid-19 saya begitu dekat dengan dunia digital. Selain melakoni sebagai part of human capital saya juga menjadi blogger amatiran.
Namun jangan salah, soal penghasilan masih bisa diadu dengan mereka yang bekerja di kantoran. Waktu itu dalam benak saya ini adalah kesempatan terbaik sekaligus tiket atau pembuktian bahwa saya bisa survive tanpa harus menjadi seorang karyawan.
PR paling nampak lebih tentang bagaimana mengelola keuangan yang baik dan benar. Blogger tak ubahnya adalah seorang freelance dimana pendapatan tidak bisa ditebak.
Kadang satu waktu bisa saja dapat projek menulis dengan benefit yang baik. Namun kadang pula zonk atau gagal bayar dan entah kapan invoice akan cair.
Maklum saja, mungkin saya menjadi salah seorang yang absurd dan berani konsisten hingga saat ini. Di mana inginnya kerja dari rumah, tinggal di Jogja, upah Jakarta dan gaya kerja Amerika.
Dan benar saja, adanya pandemi saya bisa mewujudkan itu semua. Tujuh bulan saya dirumahkan dan selama 7 bulan itu saya hidup menjadi seorang freelancer.
Soal penghasilan tak jauh beda dengan upah sebagai karyawan pada umumnya. Hanya saja tidak ada BPJS yang ditanggung kantor dan status yang tidak keren.
Bila dulu saya menjadi recruitment section head biasa dipanggil pak, di sapa karyawan lebih dulu dan kini tidak memungkinkan lagi. Kecuali beberapa karyawan yang masih ada komunikasi cukup baik dengan saya hingga saat ini.
Lekat Dengan Digital Savvy
Banyak orang tidak menyangka bahwa saya bisa menjadi salah satu orang yang menikmati kue ‘digital.’ Di mana hidup benar-benar dari apa yang namanya dunia digital.
Selama ada internet, laptop dan smartphone maka saya sudah bisa berproduksi dan menghasilkan. Sepakat apa kata pepatah, ada 100 jalan menuju Roma. Pun demikian dalam cara seseorang mendapat manfaat lebih dari apa yang namanya dunia digital.
Hampir satu kali 24 jam saya membersamai dunia digital. Lepas sesaat bila sedang tidur, itu pun 5 menit sebelum rebahan masih pegang HP. Dan 5 menit usai terjaga pasti kembali cek HP.
Dunia digital memberi kesempatan bagi siapa saja untuk melakukan sesuatu yang lebih. Tidak terbatas pada ruang dan waktu. Satu ketika pun saya tetap bisa belajar dan bekerja meski sedang pup di kamar mandi.
Dalam hal keuangan pun saya mengandalkan teknologi yang satu ini. Berharap ada perbaikan dalam kaitan mengelola keuangan yang sehat dan tercatat. Hal ini setidaknya ditandai tanpa rasa takut meski tidak ada uang cash atau ATM.
Selama ada smartphone maka saya bisa melakukan pembayaran apapun dengan cepat dan tepat. Kebiasaan ini terbawa hingga saat ini, kemanapun saya pergi tidak lagi mencari uang atau dompet selama HP digenggaman.
Berbagai aplikasi keuangan pun tersedia di smartphone mulai dari bank digital, Gojek dan Flip. Tidak ingin tambah karena dengan beberapa aplikasi tersebut sudah ada banyak hal bisa dilakukan.
Mau pembayaran apapun cukup buka smartphone dan langsung tuntas saat itu juga. Tidak pakai lama dan tidak ada kata ribet karena semua benar-benar praktis. Menjadi solusi bagi siapa saja yang ingin meningkatkan kualitas hidup.
Cukup fokus dan lakukan yang terbaik apa saja yang membuat bahagia. Soal hasil biasanya tidak akan mengkhianati proses yang telah dilewati.
Tantangan yang Ada
Betul semua kemudahan itu telah ada di tangan dan masing-masing pribadi miliki kontrol sepenuhnya. Saya pribadi hingga saat ini masih dalam proses belajar tata kelola keuangan.
Menjaga agar uang yang sifatnya “liquid” dan fleksibel bisa lebih awet. Bila tidak berapapun penghasilan akan sia-sia.
Menjadi penting kemudian untuk masing-masing orang miliki rekening terpisah. Setiap pengeluaran ada posnya dan jangan sampai mengambil pos yang tidak seyogyanya.
Semisal, berapapun penghasilan tetap harus ada bagian yang masuk ke tabungan dan atau investasi. Bila tidak uang tidak akan tersisa dan diwaktu yang akan datang mengalami kebingungan.
Terlebih saat ini faktor lingkungan dan gaya hidup menjadi faktor penentu. Mereka yang tinggal di Jogja seharusnya dengan UMP 2 jutaan cukup.
Faktanya ada yang berpenghasilan diatas 10 juta dan ternyata masih minus. Namun ada pula yang miliki penghasilan dibawah 2 juta, justru bisa menabung atau surplus.
Semua itu tidak terjadi secara tiba-tiba tapi ada proses di dalamnya. Paling penting ada visi yang hendak dicapai dan dukung komitmen yang kuat. Bila tidak maka semua itu akan sia-sia.