Miris rasanya, melihat berita di televisi yang menayangkan seorang guru tega menganiaya muridnya yang dirasa kurang mempu mengikuti pelajaran. Bukankah guru harusnya khatam dalam mempelajari metode mendidik dan mengajar.
Ataukah guru tersebut hanya menguasai dan meyampaikan materi dengan keterbatasannya. Tidak mampu melihat peserta didik yang beraneka ragam mulai dari karakter, kemampuan, minat atau pun latar belakang.
Kalau saja semua murid itu memiliki banyak kesamaan tentu saja guru akan enak dalam hal menyampaikan wacana atau ilmu pengetahuan. Tapi munginkah itu bisa dianggap sebuah tantangan, sesuatu yang menarik sehingga mampu menggugah ide kreatif pengajar untuk lebih mencari berbagai cara agar materi yang ada bisa diterima semua siswa dengan segala keanekaragaman.
Banyak pengajar yang sering kali lupa atau mungkin enggan untuk selalu meng up to date diri. Baik itu dari segi materi maupun cara penyampaian. Yang ada meski semester berganti, jaman berganti dan peserta didik berganti tapi apa yang disampaikan saat ini sama seperti tahun lalu sesuai dengan buku yang dipegang dari tahun ke tahun karena dirasa buku yang dipegang adalah sebuah kebenaran.
Tidak berhenti disitu, kadang juga terlihat sebuah hubungan atas bawah. Seolah guru itu ceret sedang siswa itu gelas. Siswa akan menerima apa yang dituangkan guru tanpa menelaah lebih jauh. Selanjutnya yang ada hanyalah kebenaran semu.
Mungkin hal tersebut bisa dianggap sebuah kebenaran saat ini. Tapi apakah beberapa tahun lagi akan tetap menjadi kebenaran. Belum tentukan!
Kalau tidak segera disadari dan dilakukan perbaikan wajar saja bila para guru ini akan menjadi nabi-nabi kecil. Nabi bagi mereka yang memuja, apa yang disampaikan adalah kebenaran mutlak tanpa bisa di ganggu gugat.
Tidak ada lagi kesempatan untuk diskusi, duduk bersama dan menemukan titik temu dan diterima semua pihak. Mana yang masih sesuai dan mana yang sudah tidak lagi relevan.
Pernah juga ditemukan, dengan percaya diri seorang guru memberikan contoh kasus untuk diselesaikan. Tentu saja guru tersebut juga telah mempersiapkan alternative jawaban yang muncul dan dirasa sesuai.
Tapi apa yang terjadi bila peserta didik memiliki jawaban yang berbeda. Jauh dari apa yang dipikirkan oleh banyak orang dan sebenarnya itu lebih bisa menjawab. Hanya saja karena enggan mengakui bahwa peserta didikpun kadang memiliki pemikiran yang lebih baik maka tetap saja guru hanya mengakui jawaban yang telah disediakan.
Contoh paling gampang kita lihat adalah ketika kita masuk taman kanak-kanak. Pasti kita akan menemukan dari masa ke masa bahwa ketika menggambar gunung itu harus ada dua. Di tengahnya ada matahari yang akan terbit dengan disertai awan dan burung.
Saat SD kita akan diperkenalkan dengan kalimat, “Ibu Budi sedang memasak di dapur dan bapak Budi sedang membaca Koran.” Tidak ada ide kraetif yang membuat anak keluar dari norma-norma standar.
Semoga saja pendidikan yang akan datang lebih memberikan kebebasan. Tidak melarang peserta didik keluar dari jalur yang ada dan berani berekspresi. Bukan di kekang dan diarahkan harus begini dan begitu.
Jaman kita berbeda dengan jaman orang tua kita dan jaman anak-anak kita sudah pasti berbeda dengan jaman kita pula. Jangan pernah mengatakan kebenaran mutlak itu ada pada kita. Biarkan mereka mencari kebenaran sesuai versi mereka atau mereka hanya akan bisa menjadi pengekor yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.