Mungkin atau lebih tepatnya pasti saya salah seorang yang termasuk beruntung. Bisa menjadi satu dari sedikit orang yang dapat berkeliling Indonesia dengan gratis. Semua atas dasar kerja profesional bukan hanya jalan-jalan semata tanpa kejelasan. Dan Jakarta menjadi kota pertama yang menjadi rangkaian cerita.
Namun kota tersebut tidak memberikan banyak kenangan yang dikarenakan jauh sebelum saya kerja di Jakarta sudah terlalu sering ada di kotanya Benjamin Sueb. Kali pertama kerja di Jakarta pada pertengan tahun 2002.
Ingat betul saat itu, masih belum lulus kelas 4 STM Pembangunan Yogyakarta bersama beberapa teman mengadu nasib ke Jakarta. Beruntung sebelum ke sana pernah magang PKL di PT Inti Ganda Perdana Tbk atau mungkin yang biasa dikenal ASTRA Componen.
Jadi tersenyum sendiri kalau ingat masa-masa itu. Belum juga mengikuti proses rekruitmen sudah mengalami apes yang bertubi-tubi. Ibarat lagu persis seperti lagunya Mulan Jamila yang ada lirik “ditusuk dari belakang,” hehhehe…
Bayangkan, belum sampai Jakarta barang bawaan di sikat orang di Stasiun Jatinegara. Tragisnya orang yang mengambil tersebut adalah orang yang ditolong, sudah kasih makan, di kasih minum, di kasih rokok. Yah, mungkin memang benar sekejam-kejamnya ibu tiri masih kejam ibu kota.
Akibat kejadian tersebut saya mencoba melapor ke Pos Polisi terdekat yang ada di depan Stasiun Jatinegara. Namun, tanggapan mereka malah negatif dan meminta lapor berita kehilangan ke stasiun. Karena malas untuk mengurus saya pun mencoba iklas dengan apa yang terjadi.
Berhubung masih terlalu pagi, tidak tahu kota Jakarta dan buta arah akhirnya hanya bisa berjalan menyusuri sepanjang jalan tanpa tahu ke mana kaki melangkah. Baru setelah ada angkutan kota mencoba mencari bus untuk sampai terminal Pulo Gadung.
Berbekal apa yang masih ada dan saya ingat betul saat itu yang ada hanya baju yang melekat dan uang Rp 400 ribu. Saya pun nekat untuk tidak pulang atau memberitahukan saudara di Jakarta sebelum berhasil.
Untung saja ada beberapa orang yang mau menampung untuk beberapa hari. Ada juga yang rela memberikan atau lebih tepatnya meminjamkan baju ganti tapi tidak dikembalikan. Ada juga yang meminjamkan sepatu untuk proses rekruitmen.
Setiap makan di warteg cukup dengan Rp 2.700 sudah dapat nasi sayur + tempe + air putih. Peristiwa tersebut berulang selama beberapa pekan. Hingga suatu saat saya bisa kos bersama teman saya. Kalau tidak salah biaya kos tahun 2002 di wilayah Kelapa Gading itu Rp 250 ribu per bulan dan di bagi dua.
Kos masih kosong tak ada satupun perabotan. Sebagai alas tidurpun cukup kardus bungkus makanan. Alat makan masih pinjam, bajupun hanya ada dipojokan kamar berserakan.
Namun, saya tetap percaya Tuhan punya rencana lain. Suatu saat pasti ada keindahan dan benar saja. Seiring berjalan waktu semua membaik. Dari bekerja di perusahaan tersebut bisa mendapat rejeki yang lebih dari cukup.
Bukan hanya bisa mencukupi kebutuhan pribadi tapi juga keluarga di kampung. Bisa mensekolahkan adik, memperbaiki rumah, membelikan motor dan pada puncaknya bisa digunakan untuk modal kuliah.
Dua tahun kerja di Jakarta cukup menjemukan. Rutinitas tiap hari kerja dan kerja, seringkali ada istilah tiada hari tanpa lembur. Bukan hanya pada hari reguler tapi sabtu minggu selalu ada di kawasan pabrik. Tak pernah tahu hari berjalan hanya saja tiap tanggal 15 dan 25 pasti tahu. Maklum saatnya gajian, hehehehehe…
Kalau rejeki mungkin tak kan lari ke mana. Tuhan pasti tahu jalan itu. Bulan ke 24 ternyata pihak manajemen memutuskan saya belum layak di angkat menjadi karyawan tetap. Hanya diberi penawaran re-kontrak mulai dari nol lagi.
Berhubung lelah kerja dipabrik saya pun memutuskan untuk pulang ke Jogja. Mencoba menapaki dunia pendidikan yang dulu sama sekali tidak pernah terpikirkan. Ternyata saya bisa kuliah sama seperti yang lain, bukan karena ada biaya dari orang tua melainkan kenekatan dan ketakutan.