Jujur diantara sekian banyak judul yang ada di daftar program SATU Indonesia Awards ada satu program yang langsung mencuri perhatian. Judul program tersebut adalah “Literasi dan Detak Jantung Peradaban” milik Vita Agustina.
Yang tak kalah menarik ternyata perempuan ini berdomisili di Jogja, persisnya ada di Bantul dan secara jarak tidak begitu jauh dari tempat saya tinggal. Tak perlu menunggu lama, saya pun mencoba mencari kontak beliau.
Dan salah satu opsi terbaik yang bisa saya lakukan adalah menghubungi via DM Instagram. Dengan cara ini tentu Vita tak perlu khawatir atau takut bila saya ada niat kurang baik.
Maklum saja dalam profil instagram terpapar dengan jelas, semua informasi tentang saya bisa ditemukan. Mulai dari kegiatan, kontak, koneksi, latar belakang dan segala hal yang sifatnya semi personal pun bisa ditemukan.
Tak perlu waktu lama DM saya pun direspon dengan baik. Namun sayangnya pas DM pertama ia masih di Jakarta dan mengikuti rangkaian kegiatan dari Astra Internasional selaku penyelenggara SATU Indonesia Awards.
Dalam DM itu Vita menginformasikan tanggal 5 November masih di Jakarta. Di tanggal 6 saya pun DM lagi dan berharap bisa bertemu di tanggal 7 dan ternyata oleh karena satu dan lainnya harus ditunda kembali.
Dan alhamdulilah di Jumat, tanggal 8 November saya diizinkan untuk berkunjung ke rumahnya yang ada di Surobayan, Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Tak perlu waktu lama, waktu menunjukkan pukul 07.40 WIB dan saya mengemudikan kuda besi.
Sekira pukul 08.00 WIB saya pun sudah tiba di Surobayan. Butuh beberapa waktu untuk saya bisa menemukan karena ternyata mereka baru pindah dan warga lebih mengenal suami Vita daripada Vita itu sendiri.
Dunia Literasi Tak Sesempit itu
Ingat betul, saya berada di rumah yang penuh buku ini hampir 1 jam dan selama itu pula banyak informasi menarik. Bukan hanya tentang asal muasal lulusan S2 filsafat UIN Sunan Kalijaga ini begitu mencintai dunia penerbitan.
Lebih dari itu saya menemukan bahwa ada sosok yang cukup berperan dalam menjaga ‘ruh’ untuk senantiasa berbagi melalui jalur literasi. Selain suami tercinta ada sosok Bhante Dhirapunno yang kita kenal sebagai pemuka agama Budha yang aktif di sosial media.
Mereka pada satu waktu bertemu di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Dan dalam kesempatan tersebut Bhante menuturkan bahwa setiap pertemuan itu bukan sebuah kebetulan tapi sudah disiapkan.
Dari alumni Pondok Pesantren Al Amien Sumenep Madura ini saya juga tahu bila kemudian Bhante asal Pati, Jawa Tengah ini telah menerbitkan 7 buku dan masih bertahan hingga saat ini. Padahal Vita yakin betul banyak penerbit besar yang berupaya menggaet agar buku Bhante terbit ditempat mereka.
Mayoritas buku Bhante bercerita tentang inspirasi dan mengajarkan banyak hal positif dari sudut pandang agama Budha dan kekinian. Selain ada banyak quote menarik ditemukan juga ada puisi yang mendamaikan hati.
Saya pun sempat menanyakan kenapa Bhante lebih memilih menerbitkan buku via dirinya bukan memilih penerbit yang cukup besar. Dan jawabannya cukup menarik dimana baik Vita maupun Bhante memiliki visi yang sama dimana mereka ingin membagikan cinta kasih dan kedamaian.
Diantara sekian banyak buku ada 1 buku yang paling berkesan dari pria berkacamata ini. Buku yang berjudul Kopi Toleransi, buku yang bercerita tentang banyak hal seputar perenungan pribadi dan pengalaman hidup yang dituangkan dalam puisi atau quote.
Hingga saat ini Vita pun membuka ruang seluas mungkin bagi masyarakat yang ingin belajar seputar literasi di kantor yang ada di Nitiprayan, Yogyakarta. Selain ada Aksara Legi dimana pengunjung bisa bebas membaca buku yang disediakan juga ada Teras Aksara. Teras Aksara sendiri adalah forum bedah buku dimana para peserta bisa berdiskusi atas buku yang telah dibaca.
Sebelum memiliki kantor yang cukup representatif mereka sempat berpindah-pindah lokasi. Bermula dari sebuah kamar kos, mimpi Vita terus berkembang hingga kini memiliki penerbitan berbadan hukum.
Selain itu mereka juga terbuka untuk kolaborasi dengan berbagai pihak yang memiliki kesamaan visi. Belum lama ini mereka juga melakukan bazar di semarang kerja bareng dengan Kolektif Hysteria.
Dalam berjalannya waktu, ribuan judul buku telah diterbitkan. Tercatat untuk Bening Pustaka telah menerbitkan 600 buku cetak dan 200 e-book. Sementara itu untuk Rua Aksara telah menerbitkan 500 buku.
1100 buku diatas adalah buku yang memiliki ISBN dan selebihnya adalah buku-buku yang dicetak tanpa ISBN. Menurut Vita ISBN bukanlah kebutuhan pokok karena semua itu akan dikembalikan pada tujuan terbitnya buku.
Buku-buku sebelum diproses lebih lanjut akan dianalisa untuk memastikan bahwa buku cukup baik diterima masyarakat. Tak jarang mereka harus merevisi apa yang telah ada bila memang sekiranya diperlukan.
Seperti kita tahu banyak buku yang berasal dari pemikiran seseorang yang cukup kritis, terutama dalam menyikapi isu seputar lingkungan. Salah satu buku yang cukup menarik dan wajib baca ada dalam Clifi Zine.
Pada umumnya naskah akan masuk dari 2 jalur. Yang pertama tentu saja pihaknya menerima naskah yang cukup baik dan sedikit revisi untuk kemudian naik cetak. Yang kedua naskah hadir pasca pelatihan, naskah berasal dari para peserta pelatihan yang diberikan Vita bersama tim yang ada.
Ada banyak tantangan untuk kemudian sebuah buku bisa terbit. Tantangan yang ada pun cukup beragam baik di hulu maupun hilir. Tentu semua itu menjadi tantangan tersendiri untuk kemudian diselesaikan.
Beruntung kini ada beberapa pihak yang mulai berpikir penting untuk memiliki buku. Terutama dikalangan akademisi baik itu dosen maupun guru. Selain itu sudah ada para pihak yang menyadari pentingnya publikasi.
Terkait isu The Death Of Book, Vita pun tidak pernah merisaukan. Menurutnya itu hanya peralihan media saja dimana dulu terbiasa dengan buku cetak dan kini beralih ke e-book.
Oleh karenanya Vita pun mulai mengikuti perkembangan yang ada. Beberapa hal yang telah dilakukan tentu saja dengan alih wahana, semisal buku cetak ke e-book, film, musik atau wahana yang lain.,
Menantikan Kolaborasi Para Penerima SATU Indonesia Awards
Dalam kesempatan itu alumni Universitas Al-Amien Prenduan Sumenep ini juga bercerita, mereka para penerima awards dikumpulkan dan diberi tantangan.Vita menjadi satu tim dengan Bahriadi dari Banten dan Ainul Husna dari Nusa Tenggara Barat.
Rencananya dalam waktu dekat mereka akan berkolaborasi membuat satu event di Jogja berupa Bazar Budaya. Selain membuat bazar mereka juga akan membuat artbook terapi atau buku yang bisa digunakan untuk terapi kesehatan mental.
Perlu diketahui bahwa pihak ASTRA memberi waktu 6 bulan untuk Vita dan tim merealisasikan. Dan saya sebagai warga Jogja cukup menantikan dengan antusias apa yang akan Vita suguhkan pada kami dalam Bazar Budaya tersebut.