Segala sesuatu itu pasti ada masanya tanpa kecuali. Mulai dari yang sangat simple dimana kita mulai dengan masa anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Semua tidak bisa ditahan, hanya saja kita bisa memilih, semua itu akan di percepat atau diperlambat. Dan mereka yang memilih menunda melangkah maka akan dikatakan sebagai prokrastinasi.
Kadang ada yang suka memaksa untuk lebih cepat tumbuh tapi ada juga yang sengaja melakukan penundaan. Mungkin area nyaman membuat seseorang enggan berpindah, dari satu tingkat ke yang lebih tinggi, lebih baik, lebih matang dan sejenisnya.
Bisa juga karena adanya ketakutan yang berlebihan bahwa “yang akan datang belum tentu lebih baik dari masa sekarang.” Akhirnya yang ada stagnan dalam satu kondisi. Tanpa perubahan tanpa warna.
Baca juga: Kesalahan Fatal dalam Karir
Prokastinasi Itu Pilihan
Semua itu adalah pilihan. Mau menjadi apa atau seperti apa itu adalah pilihan. Disadari atau tidak disadari semua adalah pilihan dan kita telah memilihnya.
Merunut ke belakang, prokrastinasi pertama yang saya lakukan tentu saja menuntaskan SD dalam waktu 7 tahun. Seperti kita tahu, SD seyogyanya 6 tahun tapi saya harus 7 tahun di kelas tersebut.
Selanjutnya STM yang ada umumnya 3 tahun saya memilih sekolah menengah kejuruan 4 tahun. Apalagi kalau bukan STM Pembangunan Yogyakarta.
Mau mengatakan tidak memilih tapi secara fakta itu adalah pilihan. Apabila tidak sekolah A tentu sekolah B dimana tetap pilihan itu harus dilakukan.
Begitu juga dalam hal pekerjaan atau lebih tepatnya saya katakan karir. Saya lebih memilih yang dekat dengan hubungan pengembangan sumber daya manusia daripada jurnalistik atau industri praktis.
Karena jujur bagi saya pribadi posisi tersebut lebih memberi kesempatan untuk banyak belajar. Sesuatu yang menjadikan kita seolah-olah bukan sosok yang harus diburu-buru.
Prokrastinasi yang paling nampak nyata tentu saatnya menikah dan ternyata urung dilakukan. Akhirnya meyerah dengan keadaan di usia 34 harus masuk jenang pernikahan.
Satu kondisi yang kemudian harus merelakan waktu lebih banyak bermain dan kemudian bersama keluarga. Mungkin terdengar egois kalau kala itu lebih memilih untuk bekerja dan bermain.
Sejatinya ada juga rencana menunda miliki momongan dengan alasan ingin lebih banyak berdua. Namun secara fakta rejeki itu berpihak dan satu bulan kemudian istri dinyatakan hamil.