Semua orang itu guru, mungkin itu adalah salah satu mantra yang bisa membuat setiap orang berpikir positif. Apapun yang dilakukan orang lain meski itu sebuah kecurangan tetap akan di syukuri.
Tak mudah memang untuk mengatakan “semua orang itu guru.” Terutama bagi mereka yang memiliki kesombongan bahwa kesempurnaan adalah miliknya.
Bagi saya pribadi entah kenapa itu berlaku. Saya bisa belajar bahagia dari anak kecil atau balita bahwa kepolosan mereka membuat kita menikmati dunia.
Pun demikian saya bisa belajar dari mereka yang telah berumur. Hidup itu harus memberi, bermanfaat untuk orang lain dan sia-sia kalau hanya menghabiskan waktu untuk sesuatu yang kurang bermanfaat. Proses belajar itu tidak mengenal waktu, kapanpun dimana pun dengan siapapun proses belajar itu bisa dilakukan.
Tidak harus dengan mereka yang bergelar doktor atau profesor. Tidak juga dengan mereka yang berjuluk suhu atau master.
Belajar bersyukur atau iklas mungkin itu adalah derajat tertinggi keilmuan seseorang. Dimana ia mampu mensyukuri yang ada tanpa keluh sedikitpun.
Berusaha mengubah energi negatif terhadap seseorang yang kurang suport terhadap kita. Mencoba mengatakan bahwa itu adalah tantangan yang harus diselesaikan untuk naik satu level lebih tinggi.
Menjadi dewasa itu pilihan, tapi menjadi tua itu sudah pasti. Kata-kata yang akan menampar siapa saja yang memiliki ego berlebih hingga menyadari suatu saat nanti banyak hal istimewa terlewatkan.
Kembali ketika ditanya apakah saya pernah belajar dari seseorang yang saya benci. Mungkin sekali lagi harus saya tegaskan, tidak pernah belajar dari mereka.
Bukan karena sombong atau tidak tahu diri. Namun lebih dari itu hingga sekarang masih mencari orang yang dibenci tapi tidak ketemu satupun.
Dari dulu hingga sekarang, dalam benakku tersimpan satu konsep, “rugi bila harus marah atau berpikiran negatif.” Selain menguras energi tentunya tidak ada manfaat dari hal itu.
Apakah dengan amarah atau rasa benci masalah terselesaikan. Bila iya tentu ada kompetisi adu marah atau adu benci.
Dan pemenangnya atau sang jawara ditahbiskan sebagai yang terbaik. Bila ada tentu saja orang-orang akan berlomba untuk adu rasa benci dan amarah.
Tak perlu ada proses belajar, tak perlu ada proses pendewasaan. Semua yang kuat ego hingga mungkin kesetanan maka mungkin ia yang akan menang.
Masih mau kayak gitu, kalo saya mah ogah…