Mungkin tidak ada yang percaya bila saya pernah kerja di pabrik. Namun faktanya memang demikian bahwa saya pernah di tempat tersebut dan kali ini saya ingin cerita kesalahan fatal dalam karir.
Yang cukup menarik pastinya 2 tempat itu menjadi satu hil yang mustahal. Bagaimana tidak, saya yang miliki tinggi kurang dari 160cm dan berkaca mata bisa kerja di Group ASTRA.
Kala itu ASTRA menjadi salah satu favorit bagi kamu para anak STM. Iming-iming pendapatan besar menjadi alasan kami harus masuk ke salah satu industri terbesar di tanah air ini.
Cerita di ASTRA Component
PT Inti Ganda Perdana Tbk Plant 2, itu menjadi tempat dan saksi bagaimana saya pernah bekerja sehari tak kurang dari 10 jam. Satu minggu masuk selama 7 hari penuh kecuali ganti shift.
Bila shift pagi akan pulang setidaknya pukul 7 atau 9 malam. Sebaliknya bila shift malam mesin akan menderu mulai pukul 9 malam dan usai pukul 8 pagi.
Satu pengalaman yang tak terlupakan tentunya kala itu bisa merasakan pendapatan yang lebih dari cukup. Bisa jadi 2 atau 3 kali UMR Jakarta begitu mudah ditangan.
Ingat betul juga kala itu beli motor Supra hanya menabung 4 bulan dan satu unit gres kinyis-kinyis ada di tangan. Tak hanya itu pernah juga ada satu ketika kawan mengeluh tidak miliki handphone dan seketika apa yang ada di tangan diberikan.
Kalau ditanya kenapa tidak lanjut hingga saat ini bekerja di ASTRA? Faktor fisik menjadi alasan utama dan yang kedua mereka kala itu tidak ada pengangkatan. Yang ada kami diputus kontrak dan selang satu bulan dipanggil kembali untuk memulai kontrak awal.
Orang-orang sekitar sering bertanya, kenapa saya yang miliki tubuh “mungil” mau kerja di bagian rumah gardan. Bagian yang memproduksi rumah gardan ini selain cukup panas karena identik dengan welding atau pengelasan juga miliki beban berat.
Bisa dibayangkan bila rumah gardan dengan berat belasan hingga puluhan kilogram di angkat secara manual. Bila satu dua kali tentu tak masalah.
Tapi apa jadinya bila dalam 19 detik ada target 1 pcs. Bisa dibayangkan dalam satu jam berapa yang harus diangkat bukan?
Ingat betul kala itu banyak diantara mereka yang menyarankan untuk pulang ke Jogja atau memilih pekerjaan lain demi masa depan yang lebih baik. “Sudah kecil tertimpa gardan apa jadinya,” itu guyon mereka.
Dan itu pula mungkin yang menjadikan doa sehingga saya bisa pulang ke Jogja dan mantap memutuskan untuk kuliah kembali. Meski saya memiliki latar belakang SMK 4 tahun jurusan Listrik Industri tapi saya tidak mau masuk jurusan tersebut.
Selain ada ketakutan akan masuk pabrik lagi tentu karena banyaknya soal-soal yang harus dikerjakan dan saya merasa tidak mampu. Maklum saja meski sebagai anak STM tetap takut dengan mata pelajaran matematika, fisika dan kimia.
Apalagi bila ketemu ilmu listrik yang mana bisa jadi itu perpaduan dari 3 hal yang saya takuti diatas. Satu pelajaran yang bisa jadi tidak pernah berani duduk di meja paling depan.
Mencoba mengambil jurusan teater di ISI itu opsi pertama yang coba saya raih. Datang ke kampus dan melihat keadaan sekitar, diskusi dengan orang terdekat pun saya lakukan.
Yang ada bukan restu justru pertanyaan, kelak bila lulus mau kerja di mana?
Nggak Sengaja Nyemplung Fakultas Psikologi
Berhubung tidak bisa menjawab pertanyaan maka memutuskan opsi lain. Tidak tahu harus pergi kemana dan menyusuri beberapa kampus.
Mencoba ke kampus lain dan tak sengaja masuk Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Dan di tempat ini pula menemukan poster pertunjukan teater yang cukup besar.
Tak perlu waktu lama pun saya mencoba mendaftar. Meski kala itu ada pihak kampus atau mahasiswa yang nyambi jadi marketing merekomendasikan masuk fakultas teknik elektro tapi saya kekeh tidak mau balik ke masa lalu.
Iya jurusan psikologi yang saya pilih karena dari pamflet yang ada tidak ada mata pelajaran yang cukup berat selain statistik. Dengan semangat 45 pun saya jadi mahasiswa psikologi.
Cukup lancar kuliah selama 4 tahun dan didalamnya banyak kegiatan menarik bisa saya ikuti. Selain UKM teater Senthir ada lembaga pers mahasiswa, mapala Mahapala Unwama, komunitas penyiar radio dan masih banyak lagi.
Kampus seolah menjadi rumah kedua dan banyak waktu saya habiskan di tempat ini. Ingat betul bagaimana kami sering diskusi hingga berhari-hari dan tidak menemukan titik temu dan itu pastinya akan menjadi kenangan tak terlupakan.
Usai lulus kuliah saya berkomitmen bagaimana bekerja itu bukan hanya sebatas tentang mencari uang dan karir. Lebih dari itu bekerja itu harus menyenangkan.
Pekerjaan apa lagi yang paling menyenangkan bila bukan sebagai seorang reporter atau wartawan. Di mana diposisi ini kita mendapat previlage tahu lebih dulu sebelum yang lain.
Kerja bagai kuda tentunya dimana tidak ada waktu kerja yang baku. Di mana ada kejadian maka saya akan meluncur.
Lampung menjadi kota pertama yang saja tuju dan di kota ini tentu banyak hal menarik yang bisa saya temukan. Salah satunya ide untuk bagaimana bisa keliling Indonesia dan gratis.
Ketika saya jadi reporter area cover hanya sebatas Lampung dan paling jauh yang saya kunjungi adalah Liwa atau Lampung Barat. Harus ada strategi untuk bagaimana keinginan traveling ini terlaksana.
Berdasar referensi yang ada maka saya harus kembali ke khitah. Di mana anak psikologi baiknya ke human capital.
Maka posisi yang saya lamar kemudian adalah Human Capital Business Partner. Dan benar saja dari posisi ini saya bisa traveling gratis ke Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, seluruh Sulawesi hingga Ambon dan Papua.
Dis, manusia memang tidak ada habisnya ketika berbicara tentang keinginan. Usai keliling Indonesia dan bermukim di Ambon dan Papua muncul keinginan untuk ada di Jogja.
Pas kala itu, dimana lebaran tiba dan apa yang harusnya saya dapat tidak diberikan. Alhasil saya tidak ada nafsu kembali ke perantauan.
Baca juga: Yakin Mau Kerja di Pabrik
Ya Alloh Masuk Pabrik Lagi Saya
Di Jogja ini lah kemudian saya mencoba melamar beberapa perusahaan yang ada di Jogja dan sekitarnya. Pernah di seluler tapi tak lama dan akhirnya masuk ke salah satu vendor Adidas yang ada di Jalan Wonosari KM 8, Bantul.
Satu keinginan yang sejatinya tak ingin terulang tapi apa daya ini adalah kesempatan terbaik. Bergabung dengan salah satu perusahaan yang memproduksi produk tas dengan label Adidas.
Padahal ingat betul, dulu pernah dan sering ingin melamar Adidas yang ada di Tangerang tapi di tanyakan bagaimana bahasa Inggris-ku. Merasa kemampuan berbahasa asing membuat minder dan tidak pernah memasukan lamaran.
Saat berada di Adidas Jogja ini pun pimpinan sering berbicara menggunakan bahasa asing. Terutama saat interview, meski tidak bisa mengikuti interview bahasa asing dengan baik nyatanya pun saya lulus.
Entah alasan apa penyebabnya kurang tahu tapi bisa jadi ekspektasi gaji saya lebih rendah daripada pelamar lain. Kala itu yang penting saya bisa bekerja di Jogja dan dekat dengan orang tua.
Berbeda dengan di ASTRA yang mana saya bekerja sebagai operator dengan ijasah SMK maka di Adidas ini saya bekerja sebagai tim HRD menggunakan ijazah S1 Psikologi.
Satu kondisi yang berbeda dengan sebelumnya. Di mana bisa jadi mayoritas karyawan berjenis kelamin perempuan.
Di office bisa jadi yang laki-laki kala itu cuma saya dengan orang GA. Baru seiring berjalan waktu saya merekrut bagian lain dengan jenis kelamin laki-laki.
Di tempat ini saya bekerja tidak 2 tahun penuh karena kembali keinginan untuk merasakan pengalaman lain. Bukan lagi hanya sebatas tim HRD tapi lebih fokus ke bagian training.
Rasa penasaran membuat saya ingin tahu lebih banyak di luar sana ada apa. Namun secara pribadi saya mengatakan jangan karena cukup berisiko bila tidak siap.
Kesalahan Fatal Dalam Karir
Sebelum saya tutup saya ingin cerita tentang kesalahan fatal dalam karir yang saya lakukan. Mungkin orang melihat bahwa apa yang saya inginkan bisa didapatkan.
Mulai dari mendapat pekerjaan yang diinginkan sampai dengan pekerjaan yang memungkinkan bisa keliling Indonesia. Bisa jadi bila orang itu fokus maka bisa dikatakan bukan kesalahan fatal dalam karir.
Namun sebaliknya, bila hanya berpikir tentang kesenangan maka karir akan sedikit terabaikan.
Melihat track record kawan-kawan yang fokus di satu tempat saat ini mereka telah miliki jabatan strategis. Bahkan ada beberapa di bawah usia 35 tahun sudah menjadi senior manager.
Sedangkan saya ketika memutuskan untuk berhenti bekerja masih sebatas asisten manager. Sesuatu yang njomplang banget dan tidak layak ditiru.
“Ada harga yang harus dibayar.” Mungkin itu pembenaran yang saya pilih dan akhirnya memutuskan menjadi seorang freelancer.
Menjadi seseorang yang bisa bekerja dari rumah atau dari manapun itu tanpa sekat. Tanpa jabatan dan tanpa gaji pokok.
Bekerja kreatif sekaligus menjadi seorang sales marketing bagi diri sendiri. Bahwa hidup bukan hanya sekadar bekerja tapi juga ada mimpi di dalamnya.