Sejak zaman kuliah saya termasuk salah satu diantara mereka yang suka diskusi tentang politik tapi enggan bermain politik praktis. Hingga saat ini saya masih enggan masuk dalam ranah politik praktis dan itu sikap politik yang saya pegang.

Ingat betul kami semua kala itu tak ubahnya para anggota dewan yang ada di parlemen. Ngomong ngalur ngidul tanpa juntrungan. Yang ada hanya pergulatan wacana tanpa pangkal ujung. Yang ada kemudian selanjutnya kita diskusi apa.
Bagi saya pribadi dan kawan-kawan politik itu layaknya gajah besar dan kami adalah anak-anak kecil yang diminta memegang gajah. Tentu masing-masing memiliki persepsi yang berbeda, ada yang dapat belalai, gading, kaki, perut, ekor dan lain-lain.
Kami semua memegang satu benda yang bernama gajah tapi sudah pasti cara kami mendefinisikan akan berbeda-beda. Pun demikian dalam politik, entah dalam politik praktis atau dalam bentuk wacana.
Semua berhak meyakini apa yang dilihat, dengar, rasakan, pegang adalah satu kebenaran. Tak bisa memaksa siapapun juga untuk meyakini apa yang kita yakini.
Anak Muda Harus Melek Politik
Sudah menjadi kewajiban, menurut saya anak muda haru melek politik. Apapun alasannya sehingga ia bisa mengambil sikap politik. Selanjutnya mau memilih atau tidak memilih itu adalah pilihan politik masing-masing.
Bagai 1000 jalan menuju ke Roma. Dalam hal politik pun demikian, ada banyak cara untuk melakukan perubahan. Ada satu hal yang bisa jadi itu bertentangan dengan hati nurani tapi tetap terjadi.
Dengan melek politik maka semua keputusan akan lebih transparan. Apapun itu keputusan harus melibatkan hati nurani dan pikiran yang jernih. Jangan pernah menggunakan ego sesaat karena keputusan itu akan berdampak hingga beberapa tahun yang akan datang.
Persepsi Politik yang Muncul
Mungkin dengan mudah kita akan mengatakan politik itu kasar atau curang karena demikan faktanya. Sangat mudah untuk melihat politik praktis dimana satu dengan yang lain akan saling menjatuhkan.
Tidak harus beda keyakinan / partai politik, mereka yang segaris pun bisa jadi ada ketidaksesuaian. Bagi saya pribadi itu semua tak ada yang salah karena masih memang begitu adanya.
Kita juga akan melihat, begitu mudah menemukan dulu yang sewaktu menjadi mahasiswa anti politik praktis karena dengan mudah melihat penindasan. Namun kini saat matang ia pun turut bermain.
Ingat betul salah satu alasan yang cukup klasik, “bila kita berada di luar sistem akan sangat susah untuk melakukan perubahan”. Dan akhirnya mereka pun memilih untuk masuk dalam lingkaran tersebut.
Politik Praktis itu Mahal Bung
Mungkin negeri ini menjadi salah satu pangsa pasar potensial bagi mereka yang ingin bermain politik praktis. Selama ada modal dan salah satunya capital akan lebih mudah untuk melenggang ke parlemen atau orang nomor satu di satu wilayah. Mulai dari tingkat RT hingga kepala negara pun kini bisa dijadikan ladang bagi mereka yang jeli.
Tak jarang mereka yang memiliki ‘modal’ meski pada awalnya tidak tahu politik itu apa kemudian adu nasib. Bila gagal mereka tak perlu khawatir karena masih bisa ke posisi semula.
Baca juga: Toleransi Berpolitik dalam Kehidupan
Pilkada Tetap Digelar yang Lain Stop
Bahkan dalam beberapa hari ini pun ramai terkait pemilukada yang akan tetap digelar pada 9 Desember 2020 yang akan datang. Menjadi pertanyaan, apa urgensi bila harus disegerakan.
Sementara itu pemerintah menyerukan untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah di rumah dan semua sebisa mungkin dikerjakan di rumah. Tapi ini, pemilukada yang sangat berpotensi untuk menciptakan kerumunan tetap akan digelar dan tidak bisa ditunda.
Tentu ada banyak hal menarik di dalamnya sehingga agenda politik 5 tahunan ini tetap harus jalan. Politik sejak zaman dulu menjadi komoditi yang akan selalu laku untuk dimainkan atau dalam bahasa kasar untuk “digoreng”.
Kamu pun pastinya sudah punya sikap politik dan bisa jadi akan berbeda dengan yang lain. Jangan sampai perbedaan sikap politik ini menjadi alasan perpecahan.
Tetap, kita masih bisa bekerja sama dan bersama-sama membangun lingkungan kita meski ada perbedaan itu. Bukankah perbedaan itu justru membuat hidup makin berwarna.