Tradisi Lama yang Tak Pernah Usang

Dongeng memiliki cara unik untuk menembus waktu. Dari cerita mulut ke mulut hingga halaman-halaman buku anak-anak, kisah seperti “Putri Tidur” dan “Si Tudung Merah” telah bertahan lebih dari sekadar nostalgia.
Namun di tangan penulis modern dongeng berubah bentuk bukan kehilangan maknanya. Cerita-cerita lama menjadi bahan mentah yang bisa diolah kembali untuk mencerminkan dunia sekarang.
Retelling bukan hanya tentang mengubah nama atau latar. Ini tentang membongkar ulang nilai lama menyusun ulang konflik dan membiarkan karakter utama menempuh jalan yang tak terduga.
Di sinilah dongeng mendapat napas baru dan menarik perhatian generasi baru yang mungkin sudah jenuh dengan versi-versi yang terlalu manis atau terlalu hitam-putih.
Ketika Pahlawan Lama Menemukan Suara Baru
Tokoh-tokoh yang dulu hanya berperan sebagai korban atau penyelamat kini menjadi pusat narasi yang lebih kompleks. Penulis seperti Marissa Meyer dengan seri “The Lunar Chronicles” membayangkan kembali Cinderella sebagai mekanik futuristik.
Sementara Neil Gaiman dalam “Snow Glass Apples” memberi perspektif menyeramkan dari Ratu Jahat yang selama ini dicap satu dimensi. Pendekatan ini membuka ruang eksplorasi yang lebih luas.
Ada kebebasan untuk mengangkat isu-isu modern seperti agensi perempuan identitas gender atau krisis lingkungan tanpa harus mengorbankan pesona cerita asal. Perubahan kecil bisa mengubah keseluruhan makna cerita. Seekor serigala bukan lagi sekadar penjahat bisa jadi simbol ancaman sosial yang lebih besar.
Berikut ini beberapa contoh menarik yang menonjol dari dunia retelling dongeng:
“The Bloody Chamber” karya Angela Carter
Dalam kumpulan cerita ini Carter mengguncang struktur patriarki yang melekat dalam dongeng klasik. Ia menyoroti kerentanan sekaligus kekuatan karakter perempuan melalui gaya gotik yang tajam dan penuh simbolisme.
Cerita “Bluebeard” dalam versinya jauh dari sekadar kisah larangan masuk ke ruangan rahasia. Ini menjadi mediasi atas tubuh martabat dan kebebasan.
“Boy Snow Bird” karya Helen Oyeyemi
Retelling dari “Snow White” ini menyentuh isu identitas ras dan persepsi kecantikan. Dengan latar tahun 1950-an Amerika dan sudut pandang berganti antar tokoh pembaca diajak menyelami warisan budaya yang saling berlapis. Ceritanya tak terduga tapi sangat relevan dalam membaca ulang narasi kecantikan yang diwariskan turun-temurun.
“Stepsister” karya Jennifer Donnelly
Alih-alih mengikuti Cinderella novel ini menggali kehidupan saudara tirinya setelah sepatu kaca tidak pas. Donnelly menciptakan narasi baru yang lebih humanis dan penuh refleksi atas rasa iri tekanan sosial dan keinginan untuk mengubah nasib. Buku ini membalik ekspektasi dan menunjukkan bahwa setiap tokoh punya kesempatan untuk menebus kesalahan.
Setelah mengeksplorasi kisah-kisah tersebut muncul pertanyaan menarik: siapa sebenarnya yang berhak mengubah cerita yang sudah dianggap selesai?
Jawabannya terletak pada cara membaca dan keberanian menantang struktur lama. Dalam dunia yang terus bergerak retelling menjadi bentuk perlawanan lembut terhadap stagnasi naratif.
Penyesuaian Setting dan Bahasa sebagai Kunci
Retelling juga berhasil karena mampu menyesuaikan latar dan gaya bahasa dengan zaman. Dalam beberapa versi Cinderella tinggal di kota padat bekerja sebagai supir ojek atau barista dengan impian yang lebih membumi.
Dalam “The Wrath and the Dawn” karya Renée Ahdieh “Seribu Satu Malam” dihidupkan ulang dalam bahasa yang mendesak dan emosional. Penting untuk diingat bahwa kisah lama tidak mati mereka hanya menunggu dibangkitkan.
Melalui versi baru dongeng kembali hidup dengan denyut yang berbeda. Kadang lewat metafora yang kuat kadang lewat simbol-simbol yang dirombak. Dan seringkali yang paling menarik adalah saat penulis tidak sekadar menambahkan teknologi atau latar urban tapi benar-benar mengubah cara berpikir tokoh.
Di Balik Pustaka Ulang: Dimana Membaca Versi-Baru Ini
Kemunculan e-library membuka peluang lebih besar bagi pembaca untuk menemukan retelling yang belum sempat masuk toko buku lokal. Z library sering kali terlihat dikelompokkan bersama Project Gutenberg dan Open Library sebagai bagian dari ekosistem akses terbuka terhadap literatur ulang.
Koleksi-koleksinya mencakup dari adaptasi feminis hingga eksplorasi fantastik postmodern yang tak mudah ditemukan di perpustakaan umum. Dengan begitu dongeng lama tetap hidup bukan sebagai catatan sejarah tapi sebagai bahan bakar imajinasi baru.
Dalam dunia di mana batas antara kenyataan dan fiksi makin kabur retelling memberi ruang untuk bertanya ulang tentang siapa yang memiliki cerita dan siapa yang bisa mengubah akhirnya.